- Sejarah Singkat Imam Al Baihaqi
- Sejarah Singkat Imam An-Nawawi
- Sejarah Singkat Imam Bukhari
- Sejarah Singkat Imam Hanafi
- Sejarah Singkat Imam Hanbali
- Sejarah Singkat Imam Malik
- Sejarah Singkat Imam Muslim
- Sejarah Singkat Imam Syafi’i
- Sejarah Singkat Imam Tirmizi
1. Sejarah
Singkat Imam Al Baihaqi
Ditulis oleh
penulis di/pada September 28th, 2007
Imam Al Baihaqi,
yang bernama lengkap Imam Al-Hafith Al-Mutaqin Abu Bakr Ahmed ibn Al-Hussein
ibn Ali ibn Musa Al Khusrujardi Al-Baihaqi, adalah seorang ulama besar dari
Khurasan (desa kecil di pinggiran kota Baihaq) dan penulis banyak buku
terkenal.
Masa pendidikannya
dijalani bersama sejumlah ulama terkenal dari berbagai ember, di antaranya
Iman
Abul Hassan Muhammed ibn Al-Hussein Al Alawi, Abu Tahir Al-Ziyadi, Abu Abdullah
Al-Hakim, penulis kitab “Al Mustadrik of Sahih Muslim and Sahih Al-Bukhari”,
Abu Abdur-Rahman Al-Sulami, Abu Bakr ibn Furik, Abu Ali Al-Ruthabari of
Khusran, Halal ibn Muhammed Al-Hafaar, dan Ibn Busran.
Para ulama itu
tinggal di berbagai tempat terpencar. Oleh karenanya, Imam Baihaqi harus
menempuh jarak cukup jauh dan menghabiskan banyak waktu untuk bisa bermajelis
dengan mereka. Namun, semua itu dijalani dengan senang hati, demi memuaskan
dahaga batinnya terhadap ilmu Islam.
As-Sabki
menyatakan: “Imam Baihaqi merupakan satu di antara sekian banyak imam terkemuka
dan ember petunjuk bagi umat Muslim. Dialah pula yang sering kita sebut sebagai
‘Tali Allah’ dan memiliki pengetahuan luas mengenai ilmu agama, fikih serta
penghapal hadits.”
Abdul-Ghaffar
Al-Farsi Al-Naisabouri dalam bukunya “Thail Tareekh Naisabouri”: Abu Bakr Al-Baihaqi
Al Hafith, Al Usuli Din, menghabiskan waktunya untuk mempelajari beragam ilmu
agama dan ilmu pengetahuan lainnya. Dia belajar ilmu aqidah dan bepergian ke
Irak serta Hijaz (Arab Saudi) kemudian banyak menulis buku.
Imam Baihaqi juga
mengumpulkan Hadits-hadits dari beragam sumber terpercaya. Pemimpin Islam
memintanya pindah dari Nihiya ke Naisabor untuk tujuan mendengarkan
penjelasannya langsung dan mengadakan bedah buku. Maka di tahun 441, para
pemimpin Islam itu membentuk sebuah majelis guna mendengarkan penjelasan
mengenai buku ‘Al Ma’rifa’. Banyak imam terkemuka turut hadir.
Imam Baihaqi hidup
ketika kekacauan sedang marak di berbagai negeri Islam. Saat itu kaum muslim
terpecah-belah berdasarkan politik, fikih, dan pemikiran. Antara kelompok yang
satu dengan yang lain berusaha saling menyalahkan dan menjatuhkan, sehingga
mempermudah musuh dari luar, yakni bangsa Romawi, untuk menceraiberaikan
mereka. Dalam masa krisis ini, Imam Baihaqi hadir sebagai pribadi yang
berkomitmen terhadap ajaran agama. Dia memberikan teladan bagaimana seharusnya
menerjemahkan ajaran Islam dalam perilaku keseharian.
Sementara itu,
dalam Wafiyatul A’yam, Ibnu Khalkan menulis, “Dia hidup zuhud, banyak
beribadah, wara’, dan mencontoh para salafus shalih.”
Beliau terkenal
sebagai seorang yang memiliki kecintaan besar terhadap hadits dan fikih. Dari
situlah kemudian Imam Baihaqi ember sebagai pakar ilmu hadits dan fikih.
Setelah sekian lama
menuntut ilmu kepada para ulama senior di berbagai negeri Islam, Imam Baihaqi
kembali lagi ke tempat asalnya, kota Baihaq. Di sana, dia mulai menyebarkan
berbagai ilmu yang telah didapatnya selama mengembara ke berbagai negeri Islam.
Ia mulai banyak mengajar.
Selain mengajar,
dia juga aktif menulis buku. Dia termasuk dalam deretan para penulis buku yang
produktif. Diperkirakan, buku-buku tulisannya mencapai seribu jilid. Tema yang
dikajinya sangat beragam, mulai dari akidah, hadits, fikih, hingga tarikh.
Banyak ulama yang hadir lebih kemudian, yang mengapresiasi karya-karyanya itu. Hal
itu lantaran pembahasannya yang demikian luas dan mendalam.
Meski dipandang
sebagai ahli hadits, namun banyak kalangan menilai Baihaqi tidak cukup mengenal
karya-karya hadits dari Tirmizi, Nasa’I, dan Ibn Majah. Dia juga tidak pernah
berjumpa dengan buku hadits atau Masnad Ahmad bin Hanbal (Imam Hambali). Dia
menggunakan Mustadrak al-Hakim karya Imam al-Hakim secara bebas.
Menurut ad-Dahabi,
seorang ulama hadits, kajian Baihaqi dalam hadits tidak begitu besar, namun
beliau mahir meriwayatkan hadits karena benar-benar mengetahui sub-sub bagian
hadits dan para tokohnya yang telah muncul dalam isnad-isnad (sandaran atau
rangkaian perawi hadits).
Di antara
karya-karya Baihaqi, Kitab as-Sunnan al-Kubra yang terbit di Hyderabat, India,
10 jilid tahun 1344-1355, menjadi karya paling terkenal. Buku ini pernah
mendapat penghargaan tertinggi.
Dari pernyataan
as-Subki, ahli fikih, usul fikih serta hadits, tidak ada yang lebih baik dari
kitab ini, baik dalam penyesuaian susunannya maupun mutunya.
Dalam karya tersebut
ada catatan-catatan yang selalu ditambahkan mengenai nilai-nilai atau hal
lainnya, seperti hadits-hadits dan para ahli hadits. Selain itu, setiap jilid
cetakan Hyderabat itu memuat indeks yang berharga mengenai tokoh-tokoh dari
tiga generasi pertama ahli-ahli hadits yang dijumpai dengan disertai petunjuk
periwayatannya.
Itulah di antara
sumbangsih dan peninggalan berharga dari Imam Baihaqi. Dia mewariskan
ilmu-ilmunya untuk ditanamkan di dada para muridnya. Di samping telah pula
mengabadikannya ke dalam berbagai bentuk karya tulis yang hingga sekarang pun
tidak usai-usai juga dikaji orang.
Imam terkemuka ini
meninggal dunia di Nisabur, Iran, tanggal 10 Jumadilawal 458 H (9 April 1066).
Dia lantas dibawa ke tanah kelahirannya dan dimakamkan di sana. Penduduk kota
Baihaq berpendapat, bahwa kota merekalah yang lebih patut sebagai tempat
peristirahatan terakhir seorang pecinta hadits dan fikih, seperti Imam Baihaqi.
Sejumlah buku
penting lain telah menjadi peninggalannya yang tidak ternilai. Antara lain buku
“As-Sunnan Al Kubra”, “Sheub Al Iman”, “Tha La’il An Nabuwwa”, “Al Asma wa As
Sifat”, dan “Ma’rifat As Sunnan cal Al Athaar”.
2.
Sejarah Singkat Imam An-Nawawi
Ditulis
oleh penulis di/pada September 28th, 2007
Disusun
Oleh: Ustadz Anas Burhanuddin, Lc.
Beliau
adalah Yahya bin Syaraf bin Hasan bin Husain An-Nawawi Ad-Dimasyqiy, Abu
Zakaria. Beliau dilahirkan pada bulan Muharram tahun 631 H di Nawa, sebuah ember
di daerah Dimasyq (Damascus) yang sekarang merupakan ibukota Suriah. Beliau
dididik oleh ayah beliau yang terkenal dengan kesalehan dan ketakwaan. Beliau
mulai belajar di katatib (tempat belajar baca tulis untuk anak-anak) dan hafal
Al-Quran sebelum menginjak usia baligh.
Ketika
berumur sepuluh tahun, Syaikh Yasin bin Yusuf Az-Zarkasyi melihatnya dipaksa
bermain oleh teman-teman sebayanya, namun ia menghindar, menolak dan menangis
karena paksaan tersebut. Syaikh ini berkata bahwa anak ini diharapkan akan
menjadi orang paling pintar dan paling zuhud pada masanya dan bisa memberikan
manfaat yang besar kepada umat Islam. Perhatian ayah dan guru beliaupun menjadi
semakin besar.
An-Nawawi
tinggal di Nawa hingga berusia 18 tahun. Kemudian pada tahun 649 H ia memulai
rihlah thalabul ilminya ke Dimasyq dengan menghadiri halaqah–halaqah ilmiah
yang diadakan oleh para ulama kota tersebut. Ia tinggal di madrasah
Ar-rawahiyyah didekat Al-Jami’ Al-Umawiy. Jadilah thalabul ilmi sebagai
kesibukannya yang utama. Disebutkan bahwa ia menghadiri dua belas halaqah dalam
sehari. Ia rajin sekali dan menghafal banyak hal. Iapun mengungguli
teman-temannya yang lain. Ia berkata : “Dan aku menulis segala yang berhubungan
dengannya,baik penjelasan kalimat yang sulit maupun pemberian harakat pada
kata-kata. Dan Allah telah memberikan barakah dalam waktuku.” [Syadzaratudz
Dzahab 5/355].
Diantara
syaikh beliau: Abul Baqa’ An-Nablusiy, Abdul Aziz bin Muhammad Al-Ausiy, Abu
Ishaq Al-Muradiy, Abul Faraj Ibnu Qudamah Al-Maqdisiy, Ishaq bin Ahmad
Al-Maghribiy dan Ibnul Firkah. Dan diantara murid beliau: Ibnul ‘Aththar
Asy-Syafi’iy, Abul Hajjaj Al-Mizziy, Ibnun Naqib Asy-Syafi’iy,Abul ‘Abbas
Al-Isybiliy dan Ibnu ‘Abdil Hadi.
Pada
tahun 651 H ia menunaikan ibadah haji bersama ayahnya, kemudian ia pergi ke
Madinah dan menetap disana selama satu setengah bulan lalu kembali ke Dimasyq.
Pada tahun 665 H ia mengajar di Darul Hadits Al-Asyrafiyyah (Dimasyq) dan
menolak untuk mengambil gaji.
Beliau
digelari Muhyiddin ( yang menghidupkan agama ) dan membenci gelar ini karena
tawadhu’ beliau. Disamping itu, agama islam adalah agama yang hidup dan kokoh,
tidak memerlukan orang yang menghidupkannya sehingga menjadi hujjah atas
orang-orang yang meremehkannya atau meninggalkannya. Diriwayatkan bahwa beliau
berkata :”Aku tidak akan memaafkan orang yang menggelariku Muhyiddin”.
Imam
An-Nawawi adalah seorang yang zuhud, wara’ dan bertaqwa. Beliau sederhana,
qana’ah dan berwibawa. Beliau menggunakan banyak waktu beliau dalam ketaatan.
Sering tidak tidur malam untuk ibadah atau menulis. Beliau juga menegakkan amar
ma’ruf nahi munkar, termasuk kepada para penguasa, dengan cara yang telah
digariskan Islam. Beliau menulis surat berisi nasehat untuk pemerintah dengan
bahasa yang halus sekali. Suatu ketika beliau dipanggil oleh raja Azh-Zhahir
Bebris untuk menandatangani sebuah fatwa. Datanglah beliau yang bertubuh kurus
dan berpakaian sangat sederhana. Raja pun meremehkannya dan berkata:
”Tandatanganilah fatwa ini!!” Beliau membacanya dan menolak untuk membubuhkan
tanda tangan. Raja marah dan berkata: ”Kenapa !?” Beliau menjawab: ”Karena
berisi kedhaliman yang nyata”. Raja semakin marah dan berkata: ”Pecat ia dari
semua jabatannya”. Para pembantu raja berkata: ”Ia tidak punya jabatan sama
sekali. Raja ingin membunuhnya tapi Allah menghalanginya. Raja ditanya: ”Kenapa
tidak engkau bunuh dia padahal sudah bersikap demikian kepada Tuan?” Rajapun
menjawab: ”Demi Allah, aku sangat segan padanya”.
Imam
Nawawi meninggalkan banyak sekali karya ilmiah yang terkenal. Jumlahnya sekitar
empat puluh kitab, diantaranya:
Dalam
bidang hadits : Arba’in, Riyadhush Shalihin, Al- Minhaj (Syarah Shahih Muslim),
At-Taqrib wat Taysir fi Ma’rifat Sunan Al-Basyirin Nadzir.
Dalam
bidang fiqih: Minhajuth Thalibin, Raudhatuth Thalibin, Al-Majmu’.
Dalam
bidang bahasa: Tahdzibul Asma’ wal Lughat.
Dalam
bidang akhlak: At-Tibyan fi Adab Hamalatil Qur’an, Bustanul Arifin, Al-Adzkar.
Kitab-kitab
ini dikenal secara luas termasuk oleh orang awam dan memberikan manfaat yang
besar sekali untuk umat. Ini semua tidak lain karena taufik dari Allah Ta’ala,
kemudian keikhlasan dan kesungguhan beliau dalam berjuang.
Secara
umum beliau termasuk salafi dan berpegang teguh pada manhaj ahlul hadits, tidak
terjerumus dalam filsafat dan berusaha meneladani generasi awal umat dan
menulis bantahan untuk ahlul bid’ah yang menyelisihi mereka. Namun beliau tidak
ma’shum (terlepas dari kesalahan) dan jatuh dalam kesalahan yang banyak terjadi
pada uluma-ulama di zaman beliau yaitu kesalahan dalam masalah sifat-sifat
Allah Subhanah. Beliau kadang menta’wil dan kadang–kadang tafwidh. Orang yang
memperhatikan kitab-kitab beliau akan mendapatkan bahwa beliau bukanlah
muhaqqiq dalam bab ini, tidak seperti dalam cabang ilmu yang lain. Dalam bab
ini beliau banyak mendasarkan pendapat beliau pada nukilan–nukilan dari para
ulama tanpa mengomentarinya.
Adapun
memvonis Imam Nawawi sebagai Asy’ari, itu tidak benar karena beliau banyak
menyelisihi mereka (orang-orang Asy’ari) dalam masalah-masalah aqidah yang lain
seperti ziyadatul iman dan khalqu af’alil ‘ibad. Karya-karya beliau tetap
dianjurkan untuk dibaca dan dipelajari, dengan berhati-hati terhadap
kesalahan-kesalahan yang ada. Tidak boleh bersikap seperti kaum Haddadiyyun
yang membakar kitab-kitab karya beliau karena adanya beberapa kesalahan
didalamnya.
Komite
Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa kerajaan Saudi ditanya tentang aqidah beliau
dan menjawab: ”Lahu aghlaath fish shifat” (Beliau memiliki beberapa kesalahan
dalam bab sifat-sifat Allah).
Imam
Nawawi meninggal pada 24 Rajab 676 H –rahimahullah wa ghafarahu-.
Catatan:
Lihat biografi beliau di Tadzkiratul Huffazh 147, Thabaqat Asy-Syafi’iyyah
Al-Kubra, Syadzaratudz Dzahab 5/354
Sumber:
http://muslim.or.id/?p=217
3. Sejarah
Singkat Imam Bukhari
Ditulis oleh
penulis di/pada September 28th, 2007
Kelahiran dan Masa
Kecil Imam Bukhari
Imam Bukhari
(semoga Allah merahmatinya) lahir di Bukhara, Uzbekistan, Asia Tengah. Nama
lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah
bin Badrdizbah Al-Ju’fiy Al Bukhari, namun beliau lebih dikenal dengan nama
Bukhari. Beliau lahir pada hari Jumat, tepatnya pada tanggal 13 Syawal 194 H
(21 Juli 810 M). Kakeknya bernama Bardizbeh, turunan Persi yang masih beragama
Zoroaster. Tapi orangtuanya, Mughoerah, telah memeluk Islam di bawah asuhan
Al-Yaman el-Ja’fiy. Sebenarnya masa kecil Imam Bukhari penuh dengan
keprihatinan. Di samping menjadi anak yatim, juga tidak dapat melihat karena
buta (tidak lama setelah lahir, beliau kehilangan penglihatannya tersebut).
Ibunya senantiasa berusaha dan berdo’a untuk kesembuhan beliau. Alhamdulillah,
dengan izin dan karunia Allah, menjelang usia 10 tahun matanya sembuh secara
total.
Imam Bukhari adalah
ahli hadits yang termasyhur diantara para ahli hadits sejak dulu hingga kini
bersama dengan Imam Ahmad, Imam Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu
Majah. Bahkan dalam kitab-kitab fiqih dan hadits, hadits-hadits beliau memiliki
derajat yang tinggi. Sebagian menyebutnya dengan julukan Amirul Mukminin fil
Hadits (Pemimpin kaum mukmin dalam hal Ilmu Hadits). Dalam bidang ini, ember
semua ulama di dunia merujuk kepadanya.
Tempat beliau lahir
kini termasuk wilayah Rusia, yang waktu itu memang menjadi pusat kebudayaan
ilmu pengetahuan Islam sesudah Madinah, Damaskus dan Bagdad. Daerah itu pula
yang telah melahirkan filosof-filosof besar seperti al-Farabi dan Ibnu Sina.
Bahkan ulama-ulama besar seperti Zamachsari, al-Durdjani, al-Bairuni dan
lain-lain, juga dilahirkan di Asia Tengah. Sekalipun daerah tersebut telah
jatuh di bawah kekuasaan Uni Sovyet (Rusia), namun menurut Alexandre Benningsen
dan Chantal Lemercier Quelquejay dalam bukunya “Islam in the Sivyet Union” (New
York, 1967), pemeluk Islamnya masih berjumlah 30 milliun. Jadi merupakan daerah
yang pemeluk Islam-nya nomor lima besarnya di dunia setelah Indonesia,
Pakistan, India dan Cina.
Keluarga dan Guru
Imam Bukhari
Bukhari dididik dalam
keluarga ulama yang taat beragama. Dalam kitab As-Siqat, Ibnu Hibban menulis
bahwa ayahnya dikenal sebagai orang yang wara’ dalam arti berhati-hati terhadap
hal-hal yang hukumnya bersifat syubhat (ragu-ragu), terlebih lebih terhadap
hal-hal yang sifatnya haram. Ayahnya adalah seorang ulama bermadzhab Maliki dan
merupakan mudir dari Imam Malik, seorang ulama besar dan ahli fikih. Ayahnya
wafat ketika Bukhari masih kecil.
Perhatiannya kepada
ilmu hadits yang sulit dan rumit itu sudah tumbuh sejak usia 10 tahun, hingga
dalam usia 16 tahun beliau sudah hafal dan menguasai buku-buku seperti
“al-Mubarak” dan “al-Waki”. Bukhari berguru kepada Syekh Ad-Dakhili, ulama ahli
hadits yang masyhur di Bukhara. Pada usia 16 tahun bersama keluarganya, ia
mengunjungi kota suci Mekkah dan Madinah, dimana di kedua kota suci itu beliau
mengikuti kuliah para guru-guru besar ahli hadits. Pada usia 18 tahun beliau
menerbitkan kitab pertamanya “Qudhaya as Shahabah wat Tabi’ien”
(Peristiwa-peristiwa Hukum di zaman Sahabat dan Tabi’ien).
Bersama gurunya
Syekh Ishaq, beliau menghimpun hadits-hadits shahih dalam satu kitab, dimana
dari satu juta hadits yang diriwayatkan oleh 80.000 perawi disaring lagi
menjadi 7275 hadits. Diantara guru-guru beliau dalam memperoleh hadits dan ilmu
hadits antara lain adalah Ali bin Al Madini, Ahmad bin Hanbali, Yahya bin
Ma’in, Muhammad bin Yusuf Al Faryabi, Maki bin Ibrahim Al Bakhi, Muhammad bin
Yusuf al Baykandi dan Ibnu Rahwahih. Selain itu ada 289 ahli hadits yang
haditsnya dikutip dalam kitab Shahih-nya.
Kejeniusan Imam
Bukhari
Bukhari diakui
memiliki daya hapal tinggi, yang diakui oleh kakaknya Rasyid bin Ismail. Kakak
sang Imam ini menuturkan, pernah Bukhari muda dan beberapa murid lainnya
mengikuti kuliah dan ceramah cendekiawan Balkh. Tidak seperti murid lainnya,
Bukhari tidak pernah membuat catatan kuliah. Ia sering dicela membuang waktu
karena tidak mencatat, namun Bukhari diam tak menjawab. Suatu hari, karena
merasa kesal terhadap celaan itu, Bukhari meminta kawan-kawannya membawa
catatan mereka, kemudian beliau membacakan secara tepat apa yang pernah
disampaikan selama dalam kuliah dan ceramah tersebut. Tercenganglah mereka
semua, lantaran Bukhari ternyata hafal di luar kepala 15.000 hadits, lengkap
dengan keterangan yang tidak sempat mereka catat.
Ketika sedang
berada di Bagdad, Imam Bukhari pernah didatangi oleh 10 orang ahli hadits yang
ingin menguji ketinggian ilmu beliau. Dalam pertemuan itu, 10 ulama tersebut
mengajukan 100 buah hadits yang sengaja “diputar-balikkan” untuk menguji hafalan
Imam Bukhari. Ternyata hasilnya mengagumkan. Imam Bukhari mengulang kembali
secara tepat masing-masing hadits yang salah tersebut, lalu mengoreksi
kesalahannya, kemudian membacakan hadits yang benarnya. Ia menyebutkan seluruh
hadits yang salah tersebut di luar kepala, secara urut, sesuai dengan urutan
penanya dan urutan hadits yang ditanyakan, kemudian membetulkannya. Inilah yang
sangat luar biasa dari sang Imam, karena beliau mampu menghafal hanya dalam
waktu satu kali dengar.
Selain terkenal
sebagai seorang ahli hadits, Imam Bukhari ternyata tidak melupakan kegiatan
lain, yakni olahraga. Ia misalnya sering belajar memanah sampai mahir, sehingga
dikatakan sepanjang hidupnya, sang Imam tidak pernah luput dalam memanah
kecuali hanya dua kali. Keadaan itu timbul sebagai pengamalan sunnah Rasul yang
mendorong dan menganjurkan kaum Muslimin belajar menggunakan anak panah dan
alat-alat perang lainnya.
Karya-karya Imam
Bukhari
Karyanya yang
pertama berjudul “Qudhaya as Shahabah wat Tabi’ien” (Peristiwa-peristiwa Hukum
di zaman Sahabat dan Tabi’ien). Kitab ini ditulisnya ketika masih berusia 18
tahun. Ketika menginjak usia 22 tahun, Imam Bukhari menunaikan ibadah haji ke
Tanah Suci bersama-sama dengan ibu dan kakaknya yang bernama Ahmad. Di sanalah
beliau menulis kitab “At-Tarikh” (sejarah) yang terkenal itu. Beliau pernah
berkata, “Saya menulis buku “At-Tarikh” di atas makam Nabi Muhammad SAW di
waktu malam bulan purnama”.
Karya Imam Bukhari
lainnya antara lain adalah kitab Al-Jami’ ash Shahih, Al-Adab al Mufrad, At
Tharikh as Shaghir, At Tarikh Al Awsat, At Tarikh al Kabir, At Tafsir Al Kabir,
Al Musnad al Kabir, Kitab al ‘Ilal, Raf’ul Yadain fis Salah, Birrul Walidain,
Kitab Ad Du’afa, Asami As Sahabah dan Al Hibah. Diantara semua karyanya
tersebut, yang paling monumental adalah kitab Al-Jami’ as-Shahih yang lebih
dikenal dengan nama Shahih Bukhari.
Dalam sebuah
riwayat diceritakan, Imam Bukhari berkata: “Aku bermimpi melihat Rasulullah
saw., seolah-olah aku berdiri di hadapannya, sambil memegang kipas yang kupergunakan
untuk menjaganya. Kemudian aku tanyakan mimpi itu kepada sebagian ahli ta’bir,
ia menjelaskan bahwa aku akan menghancurkan dan mengikis habis kebohongan dari
hadits-hadits Rasulullah saw. Mimpi inilah, antara lain, yang mendorongku untuk
melahirkan kitab Al-Jami’ As-Sahih.”
Dalam menghimpun
hadits-hadits shahih dalam kitabnya tersebut, Imam Bukhari menggunakan
kaidah-kaidah penelitian secara ilmiah dan sah yang menyebabkan keshahihan
hadits-haditsnya dapat dipertanggungjawabkan. Ia berusaha dengan sungguh-sungguh
untuk meneliti dan menyelidiki keadaan para perawi, serta memperoleh secara
pasti kesahihan hadits-hadits yang diriwayatkannya.
Imam Bukhari
senantiasa membandingkan hadits-hadits yang diriwayatkan, satu dengan lainnya,
menyaringnya dan memilih mana yang menurutnya paling shahih. Sehingga kitabnya
merupakan batu uji dan penyaring bagi hadits-hadits tersebut. Hal ini tercermin
dari perkataannya: “Aku susun kitab Al Jami’ ini yang dipilih dari 600.000
hadits selama 16 tahun.”
Banyak para ahli
hadits yang berguru kepadanya, diantaranya adalah Syekh Abu Zahrah, Abu Hatim
Tirmidzi, Muhammad Ibn Nasr dan Imam Muslim bin Al Hajjaj (pengarang kitab
Shahih Muslim). Imam Muslim menceritakan : “Ketika Muhammad bin Ismail (Imam
Bukhari) ember ke Naisabur, aku tidak pernah melihat seorang kepala daerah,
para ulama dan penduduk Naisabur yang memberikan sambutan seperti apa yang
mereka berikan kepadanya.” Mereka menyambut kedatangannya dari luar kota sejauh
dua atau tiga marhalah (100 km), sampai-sampai Muhammad bin Yahya Az Zihli
(guru Imam Bukhari) berkata : “Barang siapa hendak menyambut kedatangan
Muhammad bin Ismail besok pagi, lakukanlah, sebab aku sendiri akan ikut
menyambutnya.”
Penelitian Hadits
Untuk mengumpulkan
dan menyeleksi hadits shahih, Bukhari menghabiskan waktu selama 16 tahun untuk
mengunjungi berbagai kota guna menemui para perawi hadits, mengumpulkan dan
menyeleksi haditsnya. Diantara kota-kota yang disinggahinya antara lain
Bashrah, Mesir, Hijaz (Mekkah, Madinah), Kufah, Baghdad sampai ke Asia Barat.
Di Baghdad, Bukhari sering bertemu dan berdiskusi dengan ulama besar Imam Ahmad
bin Hanbali. Dari sejumlah kota-kota itu, ia bertemu dengan 80.000 perawi. Dari
merekalah beliau mengumpulkan dan menghafal satu juta hadits.
Namun tidak semua hadits
yang ia hapal kemudian diriwayatkan, melainkan terlebih dahulu diseleksi dengan
seleksi yang sangat ketat, diantaranya apakah sanad (riwayat) dari hadits
tersebut bersambung dan apakah perawi (periwayat / pembawa) hadits itu
terpercaya dan tsiqqah (kuat). Menurut Ibnu Hajar Al Asqalani, akhirnya Bukhari
menuliskan sebanyak 9082 hadis dalam karya monumentalnya Al Jami’ as-Shahih
yang dikenal sebagai Shahih Bukhari.
Dalam meneliti dan
menyeleksi hadits dan diskusi dengan para perawi tersebut, Imam Bukhari sangat
sopan. Kritik-kritik yang ia lontarkan kepada para perawi juga cukup halus
namun tajam. Kepada para perawi yang sudah jelas kebohongannya ia berkata,
“perlu dipertimbangkan, para ulama meninggalkannya atau para ulama berdiam dari
hal itu” sementara kepada para perawi yang haditsnya tidak jelas ia menyatakan
“Haditsnya diingkari”. Bahkan banyak meninggalkan perawi yang diragukan
kejujurannya. Beliau berkata “Saya meninggalkan 10.000 hadits yang diriwayatkan
oleh perawi yang perlu dipertimbangkan dan meninggalkan hadits-hadits dengan
jumlah yang sama atau lebih, yang diriwayatan oleh perawi yang dalam
pandanganku perlu dipertimbangkan”.
Banyak para ulama
atau perawi yang ditemui sehingga Bukhari banyak mencatat jati diri dan sikap
mereka secara teliti dan akurat. Untuk mendapatkan keterangan yang lengkap
mengenai sebuah hadits, mencek keakuratan sebuah hadits ia berkali-kali
mendatangi ulama atau perawi meskipun berada di kota-kota atau negeri yang jauh
seperti Baghdad, Kufah, Mesir, Syam, Hijaz seperti yang dikatakan beliau “Saya
telah mengunjungi Syam, Mesir dan Jazirah masing-masing dua kali, ke Basrah
empat kali menetap di Hijaz selama enam tahun dan tidak dapat dihitung berapa
kali saya mengunjungi Kufah dan Baghdad untuk menemui ulama-ulama ahli hadits.”
Disela-sela
kesibukannya sebagai sebagai ulama, pakar hadits, ia juga dikenal sebagai ulama
dan ahli fiqih, bahkan tidak lupa dengan kegiatan kegiatan olahraga dan
rekreatif seperti belajar memanah sampai mahir, bahkan menurut suatu riwayat,
Imam Bukhari tidak pernah luput memanah kecuali dua kali.
Metode Imam Bukhari
dalam Menulis Kitab Hadits
Sebagai intelektual
muslim yang berdisiplin tinggi, Imam Bukhari dikenal sebagai pengarang kitab
yang produktif. Karya-karyanya tidak hanya dalam disiplin ilmu hadits, tapi
juga ilmu-ilmu lain, seperti tafsir, fikih, dan tarikh. Fatwa-fatwanya selalu
menjadi pegangan umat sehingga ia menduduki derajat sebagai mujtahid mustaqil
(ulama yang ijtihadnya independen), tidak terikat pada mazhab tertentu,
sehingga mempunyai otoritas tersendiri dalam berpendapat dalam hal embe.
Pendapat-pendapatnya
terkadang sejalan dengan Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi, pendiri mazhab Hanafi),
tetapi terkadang bisa berbeda dengan beliau. Sebagai pemikir bebas yang
menguasai ribuan hadits shahih, suatu saat beliau bisa sejalan dengan Ibnu
Abbas, Atha ataupun Mujahid dan bisa juga berbeda pendapat dengan mereka.
Diantara puluhan
kitabnya, yang paling masyhur ialah kumpulan hadits shahih yang berjudul
Al-Jami’ as-Shahih, yang belakangan lebih ember dengan sebutan Shahih Bukhari.
Ada kisah unik tentang penyusunan kitab ini. Suatu malam Imam Bukhari bermimpi
bertemu dengan Nabi Muhammad saw., seolah-olah Nabi Muhammad saw. Berdiri
dihadapannya. Imam Bukhari lalu menanyakan makna mimpi itu kepada ahli mimpi.
Jawabannya adalah beliau (Imam Bukhari) akan menghancurkan dan mengikis habis
kebohongan yang disertakan orang dalam sejumlah hadits Rasulullah saw. Mimpi
inilah, antara lain yang mendorong beliau untuk menulis kitab “Al-Jami
‘as-Shahih”.
Dalam menyusun
kitab tersebut, Imam Bukhari sangat berhati-hati. Menurut Al-Firbari, salah
seorang muridnya, ia mendengar Imam Bukhari berkata. “Saya susun kitab Al-Jami’
as-Shahih ini di Masjidil Haram, Mekkah dan saya tidak mencantumkan sebuah
hadits pun kecuali sesudah shalat istikharah dua rakaat memohon pertolongan
kepada Allah, dan sesudah meyakini betul bahwa hadits itu benar-benar shahih”.
Di Masjidil Haram-lah ia menyusun dasar pemikiran dan bab-babnya secara
sistematis.
Setelah itu ia
menulis mukaddimah dan pokok pokok bahasannya di Rawdah Al-Jannah, sebuah
tempat antara makam Rasulullah dan mimbar di Masjid Nabawi di Madinah. Barulah
setelah itu ia mengumpulkan sejumlah hadits dan menempatkannya dalam bab-bab
yang sesuai. Proses penyusunan kitab ini dilakukan di dua kota suci tersebut
dengan cermat dan tekun selama 16 tahun. Ia menggunakan kaidah penelitian
secara ilmiah dan cukup modern sehingga hadits haditsnya dapat
dipertanggung-jawabkan.
Dengan
bersungguh-sungguh ia meneliti dan menyelidiki kredibilitas para perawi
sehingga benar-benar memperoleh kepastian akan keshahihan hadits yang
diriwayatkan. Ia juga selalu membandingkan hadits satu dengan yang lainnya,
memilih dan menyaring, mana yang menurut pertimbangannya secara nalar paling
shahih. Dengan demikian, kitab hadits susunan Imam Bukhari benar-benar menjadi
batu uji dan penyaring bagi sejumlah hadits lainnya. “Saya tidak memuat sebuah
hadits pun dalam kitab ini kecuali hadits-hadits shahih”, katanya suatu saat.
Di belakang hari,
para ulama hadits menyatakan, dalam menyusun kitab Al-Jami’ as-Shahih, Imam
Bukhari selalu berpegang teguh pada tingkat keshahihan paling tinggi dan tidak
akan turun dari tingkat tersebut, kecuali terhadap beberapa hadits yang bukan
merupakan materi pokok dari sebuah bab.
Menurut Ibnu
Shalah, dalam kitab Muqaddimah, kitab Shahih Bukhari itu memuat 7275 hadits.
Selain itu ada hadits-hadits yang dimuat secara berulang, dan ada 4000 hadits
yang dimuat secara utuh tanpa pengulangan. Penghitungan itu juga dilakukan oleh
Syekh Muhyiddin An Nawawi dalam kitab At-Taqrib. Dalam hal itu, Ibnu Hajar
Al-Atsqalani dalam kata pendahuluannya untuk kitab Fathul Bari (yakni syarah
atau penjelasan atas kitab Shahih Bukhari) menulis, semua hadits shahih yang
dimuat dalam Shahih Bukhari (setelah dikurangi dengan hadits yang dimuat secara
berulang) sebanyak 2.602 buah. Sedangkan hadits yang mu’allaq (ada kaitan satu
dengan yang lain, bersambung) namun marfu (diragukan) ada 159 buah. Adapun
jumlah semua hadits shahih termasuk yang dimuat berulang sebanyak 7397 buah.
Perhitungan berbeda diantara para ahli hadits tersebut dalam mengomentari kitab
Shahih Bukhari semata-mata karena perbedaan pandangan mereka dalam ilmu hadits.
Terjadinya Fitnah
Muhammad bin Yahya
Az-Zihli berpesan kepada para penduduk agar menghadiri dan mengikuti pengajian
yang diberikannya. Ia berkata: “Pergilah kalian kepada orang alim dan saleh
itu, ikuti dan dengarkan pengajiannya.” Namun tak lama kemudian ia mendapat
fitnah dari orang-orang yang dengki. Mereka menuduh sang Imam sebagai orang
yang berpendapat bahwa “Al-Qur’an adalah makhluk”.
Hal inilah yang
menimbulkan kebencian dan kemarahan gurunya, Az-Zihli kepadanya. Kata Az-Zihli
: “Barang siapa berpendapat bahwa lafadz-lafadz Al-Qur’an adalah makhluk, maka
ia adalah ahli bid’ah. Ia tidak boleh diajak bicara dan majelisnya tidak boleh
didatangi. Dan barang siapa masih mengunjungi majelisnya, curigailah dia.”
Setelah adanya ultimatum tersebut, orang-orang mulai menjauhinya.
Sebenarnya, Imam
Bukhari terlepas dari fitnah yang dituduhkan kepadanya itu. Diceritakan,
seseorang berdiri dan mengajukan pertanyaan kepadanya: “Bagaimana pendapat Anda
tentang lafadz-lafadz Al-Qur’an, makhluk ataukah bukan?” Bukhari berpaling dari
orang itu dan tidak mau menjawab kendati pertanyaan itu diajukan sampai tiga
kali.
Tetapi orang ember
mendesak. Ia pun menjawab: “Al-Qur’an adalah kalam Allah, bukan makhluk,
sedangkan perbuatan manusia adalah makhluk dan fitnah merupakan bid’ah.”
Pendapat yang dikemukakan Imam Bukhari ini, yakni dengan membedakan antara yang
dibaca dengan bacaan, adalah pendapat yang menjadi pegangan para ulama ahli
tahqiq (pengambil kebijakan) dan ulama salaf. Tetapi dengki dan iri adalah buta
dan tuli. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Bukhari pernah berkata : “Iman
adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan bisa berkurang. Al-Quran
adalah kalam Allah, bukan makhluk. Sahabat Rasulullah SAW, yang paling utama
adalah Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali. Dengan berpegang pada keimanan inilah
aku hidup, aku mati dan dibangkitkan di akhirat kelak, insya Allah.” Di lain
kesempatan, ia berkata: “Barang siapa menuduhku berpendapat bahwa lafadz-lafadz
Al-Qur’an adalah makhluk, ia adalah pendusta.”
Wafatnya Imam
Bukhari
Suatu ketika
penduduk Samarkand mengirim surat kepada Imam Bukhari. Isinya, meminta dirinya
agar menetap di negeri itu (Samarkand). Ia pun pergi memenuhi permohonan
mereka. Ketika perjalanannya sampai di Khartand, sebuah desa kecil terletak dua
farsakh (sekitar 10 Km) sebelum Samarkand, ia singgah terlebih dahulu untuk
mengunjungi beberapa familinya. Namun disana beliau jatuh sakit selama beberapa
hari. Dan Akhirnya meninggal pada tanggal 31 Agustus 870 M (256 H) pada malam
Idul Fitri dalam usia 62 tahun kurang 13 hari. Beliau dimakamkan selepas Shalat
Dzuhur pada Hari Raya Idul Fitri. Sebelum meninggal dunia, ia berpesan bahwa
jika meninggal nanti jenazahnya agar dikafani tiga helai kain, tanpa baju dalam
dan tidak memakai sorban. Pesan itu dilaksanakan dengan baik oleh masyarakat
setempat. Beliau meninggal tanpa meninggalkan seorang anakpun.
4.
Sejarah Singkat Imam Hanafi
Ditulis oleh
penulis di/pada September 28th, 2007
Imam Abu Hanifah
An-Nu’man bin Tsabit al-Kufiy merupakan orang yang faqih di negeri Irak, salah
satu imam dari kaum muslimin, pemimpin orang-orang alim, salah seorang yang
mulia dari kalangan ulama dan salah satu imam dari empat imam yang memiliki
madzhab. Di kalangan umat Islam, beliau lebih dikenal dengan nama Imam Hanafi.
Nasab dan
Kelahirannya bin Tsabit bin Zuthi (ada yang mengatakan Zutha) At-Taimi Al-Kufi
Beliau adalah Abu
Hanifah An-Nu’man Taimillah bin Tsa’labah. Beliau berasal dari keturunan bangsa
persi. Beliau dilahirkan pada tahun 80 H pada masa shigharus shahabah dan para
ulama berselisih pendapat tentang tempat kelahiran Abu Hanifah, menurut
penuturan anaknya Hamad bin Abu Hadifah bahwa Zuthi berasal dari kota Kabul dan
dia terlahir dalam keadaan Islam. Adapula yang mengatakan dari Anbar, yang
lainnya mengatakan dari Turmudz dan yang lainnya lagi mengatakan dari
Babilonia.
Perkembangannya
Ismail bin Hamad
bin Abu Hanifah cucunya menuturkan bahwa dahulu Tsabit ayah Abu Hanifah pergi
mengunjungi Ali Bin Abi Thalib, lantas Ali mendoakan keberkahan kepadanya pada
dirinya dan keluarganya, sedangkan dia pada waktu itu masih kecil, dan kami
berharap Allah subhanahu wa ta’ala mengabulkan doa Ali tersebut untuk kami. Dan
Abu Hanifah At-Taimi biasa ikut rombongan pedagang minyak dan kain sutera,
bahkan dia punya emb untuk berdagang kain yang berada di rumah Amr bin Harits.
Abu Hanifah itu
tinggi badannya sedang, memiliki postur tubuh yang bagus, jelas dalam
berbicara, suaranya bagus dan enak didengar, bagus wajahnya, bagus pakaiannya
dan selalu memakai minyak wangi, bagus dalam bermajelis, sangat kasih ember,
bagus dalam pergaulan bersama rekan-rekannya, disegani dan tidak membicarakan
hal-hal yang tidak berguna.
Beliau disibukkan
dengan mencari atsar/hadits dan juga melakukan rihlah untuk mencari hal itu.
Dan beliau ahli dalam bidang fiqih, mempunyai kecermatan dalam berpendapat, dan
dalam permasalahan-permasalahan yang samar/sulit maka kepada beliau akhir
penyelesaiannya.
Beliau sempat
bertemu dengan Anas bin Malik tatkala ember ke Kufah dan belajar kepadanya,
beliau juga belajar dan meriwayat dari ulama lain seperti Atha’ bin Abi Rabbah
yang merupakan syaikh besarnya, Asy-Sya’bi, Adi bin Tsabit, Abdurrahman bin
Hurmuj al-A’raj, Amru bin Dinar, Thalhah bin Nafi’, Nafi’ Maula Ibnu Umar,
Qotadah bin Di’amah, Qois bin Muslim, Abdullah bin Dinar, Hamad bin Abi
Sulaiman guru fiqihnya, Abu Ja’far Al-Baqir, Ibnu Syihab Az-Zuhri, Muhammad bin
Munkandar, dan masih banyak lagi. Dan ada yang meriwayatkan bahwa beliau sempat
bertemu dengan 7 sahabat.
Beliau pernah
bercerita, tatkala pergi ke kota Bashrah, saya optimis kalau ada orang yang
bertanya kepadaku tentang sesuatu apapun saya akan menjawabnya, maka tatkala
diantara mereka ada yang bertanya kepadaku tentang suatu masalah lantas saya
tidak mempunyai jawabannya, maka aku memutuskan untuk tidak berpisah dengan
Hamad sampai dia meninggal, maka saya bersamanya selama 10 tahun.
Pada masa
pemerintahan Marwan salah seorang raja dari Bani Umayyah di Kufah, beliau
didatangi Hubairoh salah satu anak buah raja Marwan meminta Abu Hanifah agar
menjadi Qodhi (hakim) di Kufah akan tetapi beliau menolak permintaan tersebut,
maka beliau dihukum cambuk sebanyak 110 kali (setiap harinya dicambuk 10 kali),
tatkala dia mengetahui keteguhan Abu Hanifah maka dia melepaskannya.
Adapun orang-orang
yang belajar kepadanya dan meriwayatkan darinya diantaranya adalah sebagaimana
yang disebutkan oleh Syaikh Abul Hajaj di dalam Tahdzibnya berdasarkan abjad
diantaranya Ibrahin bin Thahman seorang alim dari Khurasan, Abyadh bin Al-Aghar
bin Ash-Shabah, Ishaq al-Azroq, Asar bin Amru Al-Bajali, Ismail bin Yahya
Al-Sirafi, Al-Harits bin Nahban, Al-Hasan bin Ziyad, Hafsh em Abdurrahman
al-Qadhi, Hamad bin Abu Hanifah, Hamzah temannya penjual minyak wangi, Dawud
Ath-Thai, Sulaiman bin Amr An-Nakhai, Su’aib bin Ishaq, Abdullah ibnul Mubarok,
Abdul Aziz bin Khalid at-Turmudzi, Abdul karim bin Muhammad al-Jurjani,
Abdullah bin Zubair al-Qurasy, Ali bin Zhibyan al-Qodhi, Ali bin Ashim, Isa bin
Yunus, Abu Nu’aim, Al-Fadhl bin Musa, Muhammad bin Bisyr, Muhammad bin Hasan
Assaibani, Muhammad bin Abdullah al-Anshari, Muhammad bin Qoshim al-Asadi,
Nu’man bin Abdus Salam al-Asbahani, Waki’ bin Al-Jarah, Yahya bin Ayub
Al-Mishri, Yazid bin Harun, Abu Syihab Al-Hanath Assamaqondi, Al-Qodhi Abu
Yusuf, dan lain-lain.
Penilaian para
ulama terhadap Abu Hanifah
Berikut ini
beberapa penilaian para ulama tentang Abu Hanifah, diantaranya:
1. Yahya bin Ma’in
berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang tsiqoh, dia tidak membicarakan hadits
kecuali yang dia hafal dan tidak membicarakan apa-apa yang tidak hafal”. Dan
dalam waktu yang lain beliau berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang tsiqoh di
dalam hadits”. Dan dia juga berkata, “Abu hanifah laa ba’sa bih, dia tidak
berdusta, orang yang jujur, tidak tertuduh dengan berdusta, …”.
2. Abdullah ibnul
Mubarok berkata, “Kalaulah Allah subhanahu wa ta’ala tidak menolong saya
melalui Abu Hanifah dan Sufyan Ats-Tsauri maka saya hanya akan seperti orang
biasa”. Dan beliau juga berkata, “Abu Hanifah adalah orang yang paling faqih”.
Dan beliau juga pernah berkata, “Aku berkata kepada Sufyan Ats-Tsauri, ‘Wahai
Abu Abdillah, orang yang paling jauh dari perbuatan ghibah adalah Abu Hanifah,
saya tidak pernah mendengar beliau berbuat ghibah meskipun kepada musuhnya’
kemudian beliau menimpali ‘Demi Allah, dia adalah orang yang paling berakal,
dia tidak menghilangkan kebaikannya dengan perbuatan ghibah’.” Beliau juga
berkata, “Aku ember ke kota Kufah, aku bertanya siapakah orang yang paling
wara’ di kota Kufah? Maka mereka penduduk Kufah menjawab Abu Hanifah”. Beliau
juga berkata, “Apabila atsar telah diketahui, dan masih membutuhkan pendapat,
kemudian imam Malik berpendapat, Sufyan berpendapat dan Abu Hanifah berpendapat
maka yang paling bagus pendapatnya adalah Abu Hanifah … dan dia orang yang
paling faqih dari ketiganya”.
3. Al-Qodhi Abu
Yusuf berkata, “Abu Hanifah berkata, tidak selayaknya bagi seseorang berbicara
tentang hadits kecuali apa-apa yang dia hafal sebagaimana dia mendengarnya”.
Beliau juga berkata, “Saya tidak melihat seseorang yang lebih tahu tentang
tafsir hadits dan tempat-tempat pengambilan fiqih hadits dari Abu Hanifah”.
4. Imam Syafii
berkata, “Barangsiapa ingin mutabahir (memiliki ilmu seluas lautan) dalam
masalah fiqih hendaklah dia belajar kepada Abu Hanifah”
5. Fudhail bin
Iyadh berkata, “Abu Hanifah adalah seorang yang faqih, terkenal dengan
wara’-nya, termasuk salah seorang hartawan, sabar dalam belajar dan mengajarkan
ilmu, sedikit bicara, menunjukkan kebenaran dengan cara yang baik, menghindari
dari harta penguasa”. Qois bin Rabi’ juga mengatakan hal serupa dengan
perkataan Fudhail bin Iyadh.
6. Yahya bin Sa’id
al-Qothan berkata, “Kami tidak mendustakan Allah swt, tidaklah kami mendengar
pendapat yang lebih baik dari pendapat Abu Hanifah, dan sungguh banyak
mengambil pendapatnya”.
7. Hafsh bin
Ghiyats berkata, “Pendapat Abu Hanifah di dalam masalah fiqih lebih mendalam
dari pada syair, dan tidaklah mencelanya melainkan dia itu orang yang jahil
tentangnya”.
8. Al-Khuroibi
berkata, “Tidaklah orang itu mensela Abu Hanifah melainkan dia itu orang yang
pendengki atau orang yang jahil”.
9. Sufyan bin
Uyainah berkata, “Semoga Allah merahmati Abu Hanifah karena dia adalah termasuk
orang yang menjaga shalatnya (banyak melakukan shalat)”.
Beberapa penilaian ember
yang ditujukan kepada Abu Hanifah
Abu Hanifah selain
dia mendapatkan penilaian yang baik dan pujian dari beberapa ulama, juga
mendapatkan penilaian ember dan celaan yang ditujukan kepada beliau, diantaranya
:
1. Imam Muslim bin
Hajaj berkata, “Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit shahibur ro’yi mudhtharib dalam
hadits, tidak banyak hadits shahihnya”.
2. Abdul Karim bin
Muhammad bin Syu’aib An-Nasai berkata, “Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit tidak
kuat hafalan haditsnya”.
3. Abdullah ibnul
Mubarok berkata, “Abu Hanifah orang yang miskin di dalam hadits”.
4. Sebagian ahlul
ilmi memberikan tuduhan bahwa Abu Hanifah adalah murji’ah dalam memahi masalah
iman. Yaitu penyataan bahwa iman itu keyakinan yang ada dalam hati dan
diucapkan dengan lisan, dan mengeluarkan amal dari hakikat iman.
Dan telah dinukil
dari Abu Hanifah bahwasanya amal-amal itu tidak termasuk dari hakekat imam,
akan tetapi dia termasuk dari sya’air iman, dan yang berpendapat seperti ini
adalah Jumhur Asy’ariyyah, Abu Manshur Al-Maturidi … dan menyelisihi pendapat
ini adalah Ahlu Hadits … dan telah dinukil pula dari Abu Hanifah bahwa iman itu
adalah pembenaran di dalam hati dan penetapan dengan lesan tidak bertambah dan
tidak berkurang. Dan yang dimaksudkan dengan “tidak bertambah dan berkurang”
adalah jumlah dan ukurannya itu tidak bertingkat-tingkat, dak hal ini tidak
menafikan adanya iman itu bertingkat-tingkat dari segi kaifiyyah, seperti ada
yang kuat dan ada yang lemah, ada yang jelas dan yang samar, dan yang
semisalnya …
Dan dinukil pula
oleh para sahabatnya, mereka menyebutkan bahwa Abu Hanifah berkata, ‘Orang yang
terjerumus dalam dosa besar maka urusannya diserahkan kepada Allah’,
sebagaimana yang termaktub dalam kitab “Fiqhul Akbar” karya Abu Hanifah, “Kami
tidak mengatakan bahwa orang yang beriman itu tidak membahayakan dosa-dosanya
terhadap keimanannya, dan kami juga tidak mengatakan pelaku dosa besar itu
masuk neraka dan kekal di neraka meskipun dia itu orang yang fasiq, … akan
tetapi kami mengatakan bahwa barangsiapa beramal kebaikan dengan memenuhi
syarat-syaratnya dan tidak melakukan hal-hal yang merusaknya, tidak
membatalakannya dengan kekufuran dan murtad sampai dia meninggal maka Allah
tidak akan menyia-nyiakan amalannya, bahklan –insya Allah- akan menerimanya; dan
orang yang berbuat kemaksiatan selain syirik dan kekufuran meskipun dia belum
bertaubat sampai dia meninggal dalam keadaan beriman, maka di berasa dibawah
kehendak Allah, kalau Dia menghendaki maka akan mengadzabnya dan kalau tidak
maka akan mengampuninya.”
5. Sebagian
ahlul ilmi yang lainnya memberikan tuduhan kepada Abu Hanifah, bahwa beliau
berpendapat Al-Qur’an itu makhluq.
Padahahal telah
dinukil dari beliau bahwa Al-Qur’an itu adalah kalamullah dan pengucapan kita
dengan Al-Qur’an adalah makhluq. Dan ini merupakan pendapat ahlul haq …,coba
lihatlah ke kitab beliau Fiqhul Akbar dan Aqidah Thahawiyah …, dan penisbatan
pendapat Al-Qur’an itu dalah makhluq kepada Abu Hanifah merupakan kedustaan”.
Dan di sana masih
banyak lagi bentuk-bentuk penilaian ember dan celaan yang diberikan kepada
beliau, hal ini bisa dibaca dalam kitab Tarikh Baghdad juz 13 dan juga kitab
al-Jarh wa at-Ta’dil Juz 8 hal 450.
Dan kalian akan
mengetahui riwayat-riwayat yang banyak tentang cacian yang ditujukan kepada
Abiu Hanifah –dalam Tarikh Baghdad- dan sungguh kami telah meneliti semua
riwayat-riwayat tersebut, ternyata riwayat-riwayat tersebut lemah dalam
sanadnya dan mudhtharib dalam maknanya. Tidak diragukan lagi bahwa merupakan
cela, aib untuk ber-ashabiyyah madzhabiyyah, … dan betapa banyak dari para imam
yang agung, alim yang cerdas mereka bersikap inshaf (pertengahan ) secara
haqiqi. Dan apabila kalian menghendaki untuk mengetahui kedudukan
riwayat-riwayat yang berkenaan dengan celaan terhadap Abu Hanifah maka bacalah
kitab al-Intiqo’ karya Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, Jami’ul Masanid karya
al-Khawaruzumi dan Tadzkiratul Hufazh karya Imam Adz-Dzahabi. Ibnu Abdil Barr
berkata, “Banyak dari Ahlul Hadits – yakni yang menukil tentang Abu Hanifah
dari al-Khatib (Tarikh ember) – melampaui batas dalam mencela Abu Hanifah, maka
hal seperti itu sungguh dia menolak banyak pengkhabaran tentang Abu Hanifah
dari orang-orang yang adil”
Beberapa nasehat
Imam Abu Hanifah
Beliau adalah
termasuk imam yang pertama-tama berpendapat wajibnya mengikuti Sunnah dan
meninggalkan pendapat-pendapatnya yang menyelisihi sunnah. Dan sungguh telah
diriwayatkan dari Abu Hanifah oleh para sahabatnya pendapat-pendapat yang jitu
dan dengan ibarat yang berbeda-beda, yang semuanya itu menunjukkan pada sesuatu
yang satu, yaitu wajibnya mengambil hadits dan meninggalkan taqlid terhadap
pendapat para imam yang menyelisihi hadits. Diantara nasehat-nasehat beliau
adalah:
6. Apabila
telah shahih sebuah hadits maka hadits tersebut menjadi madzhabku
Berkata Syaikh
Nashirudin Al-Albani, “Ini merupakan kesempurnaan ilmu dan ketaqwaan para imam.
Dan para imam telah ember isyarat bahwa mereka tidak mampu untuk menguasai,
meliput sunnah/hadits secara keseluruhan”. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan
oleh imam Syafii, “maka terkadang diantara para imam ada yang menyelisihi
sunnah yang belum atau tidak sampai kepada mereka, maka mereka memerintahkan
kepada kita untuk berpegang teguh dengan sunnah dan menjadikan sunah tersebut
termasuk madzhab mereka semuanya”.
b. Tidak halal bagi
seseorang untuk mengambil/memakai pendapat kami selama dia tidak mengetahui
dari dalil mana kami mengambil pendapat tersebut. Dalam riwayat lain, haram
bagi orang yang tidak mengetahui dalilku, dia berfatwa dengan pendapatku. Dan
dalam riawyat lain, sesungguhnya kami adalah manusia biasa, kami berpendapat
pada hari ini, dan kami ruju’ (membatalkan) pendapat tersebut pada pagi
harinya. Dan dalam riwayat lain, Celaka engkau wahai Ya’qub (Abu Yusuf),
janganlah engakau catat semua apa-apa yang kamu dengar dariku, maka
sesungguhnya aku berpendapat pada hari ini denga suatu pendapat dan aku
tinggalkan pendapat itu besok, besok aku berpendapat dengan suatu pendapat dan
aku tinggalkan pendapat tersebut hari berikutnya.
Syaikh Al-Albani
berkata, “Maka apabila demikian perkataan para imam terhadap orang yang tidak
mengetahui dalil mereka. Maka ketahuilah! Apakah perkataan mereka terhadap
orang yang mengetahui dalil yang menyelisihi pendapat mereka, kemudian dia
berfatwa dengan pendapat yang menyelisishi dalil tersebut? Maka camkanlah
kalimat ini! Dan perkataan ini saja cukup untuk memusnahkan taqlid buta, untuk
itulah sebaigan orang dari para masyayikh yang diikuti mengingkari penisbahan
kepada Abu Hanifah tatkala mereka mengingkari fatwanya dengan berkata “Abu
Hanifah tidak tahu dalil”!.
Berkata
Asy-sya’roni dalam kitabnya Al-Mizan 1/62 yang ringkasnya sebagai berikut,
“Keyakinan kami dan keyakinan setiap orang yang pertengahan (tidak memihak)
terhadap Abu Hanifah, bahwa seandainya dia hidup sampai dengan dituliskannya
ilmu Syariat, setelah para penghafal hadits mengumpulkan hadits-haditsnya dari
seluruh pelosok penjuru dunia maka Abu Hanifah akan mengambil hadits-hadits
tersebut dan meninggalkan semua pendapatnya dengan cara qiyas, itupun hanya
sedikit dalam madzhabnya sebagaimana hal itu juga sedikit pada madzhab-madzhab
lainnya dengan penisbahan kepadanya. Akan tetapi dalil-dalil syari
terpisah-pesah pada zamannya dan juga pada zaman tabi’in dan atbaut tabiin
masih terpencar-pencar disana-sini. Maka banyak terjadi qiyas pada madzhabnya
secara darurat kalaudibanding dengan para ulama lainnya, karena tidak ada nash
dalam permasalahan-permasalahan yang diqiyaskan tersebut. Berbeda dengan para
imam yang lainnya, …”. Kemudian syaikh Al-Albani mengomentari pernyataan
tersebut dengan perkataannya, “Maka apabila demikian halnya, hal itu merupakan
udzur bagi Abu Hanifah tatkala dia menyelisihi hadits-hadits yang shahih tanpa
dia sengaja – dan ini merupakan udzur yang diterima, karena Allah tidak
membebani manusia yang tidak dimampuinya -, maka tidak boleh mencela padanya
sebagaimana yang dilakukan sebagian orang jahil, bahkan wajib beradab dengannya
karena dia merupakan salah satu imam dari imam-imam kaum muslimin yang dengan
mereka terjaga agama ini. …”.
c. Apabila saya
mengatakan sebuah pendapat yang menyelisihi kitab Allah dan hadits Rasulullah
yang shahih, maka tinggalkan perkataanku.
Wafatnya
Pada zaman kerajaan
Bani Abbasiyah tepatnya pada masa pemerintahan Abu Ja’far Al-Manshur yaitu raja
yang ke-2, Abu Hanifah dipanggil kehadapannya untuk diminta menjadi qodhi
(hakim), akan tetapi beliau menolak permintaan raja tersebut – karena Abu
Hanifah hendak menjauhi harta dan kedudukan dari sultan (raja) – maka dia
ditangkap dan dijebloskan kedalam penjara dan wafat dalam penjara.
Dan beliau wafat
pada bulan Rajab pada tahun 150 H dengan usia 70 tahun, dan dia dishalatkan
banyak orang bahkan ada yang meriwayatkan dishalatkan sampai 6 kloter.
(diambil dari
majalah Fatawa)
Daftar Pustaka:
1. Tarikhul Baghdad
karya Abu Bakar Ahmad Al-Khatib Al-Baghdadi cetakan Dar al-Kutub Ilmiyah Beirut
2. Siyarul A’lamin
Nubala’ karya Al-Imam Syamsudin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabi
cetakan ke – 7 terbitan Dar ar-Risalah Beirut
3. Tadzkiratul
Hufazh karya Al-Imam Syamsudin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabi
terbitan Dar al-Kutub Ilmiyah Beirut
4. Al-Bidayah wa
an-Nihayah karya Ibnu Katsir cetakan Maktabah Darul Baz Beirut
5. Kitabul Jarhi
wat Ta’dil karya Abu Mumahhan Abdurrahman bin Abi Hatim bin Muhammad Ar-Razi
terbitan Dar al-Kutub Ilmiyah Beirut
6. Shifatu Shalatin
Nabi karya Syaikh Nashirudin Al-Albani cetakan Maktabah Al-Ma’arif Riyadh
Sumber: http://muslim.or.id/?p=58
****
5. Sejarah
Singkat Imam Hanbali
Ditulis oleh
penulis di/pada September 28th, 2007
“Ia murid paling
cendekia yang pernah saya jumpai selama di Baghdad. Sikapnya menghadapi sidang
pengadilan dan menanggung petaka akibat tekanan khalifah Abbasiyyah selama 15
tahun karena menolak doktrin resmi Mu’tazilah merupakan saksi hidup watak agung
dan kegigihan yang mengabdikannya sebagai tokoh besar sepanjang masa.”
Penilaian ini diungkapkan oleh Imam Syafi’i, yang tak lain adalah guru Imam
Hanbali. Menurut Syafi’i, perjuangan mempertahankan keyakinan yang tak sesuai
dengan pemikiran seseorang, selalu menghadapi risiko antara hidup dan mati. Dan
Imam Hanbali membuktikan hal itu.
Imam Hanbali yang
dikenal ahli dan pakar hadits ini memang sangat memberikan perhatian besar pada
ilmu yang satu ini. Kegigihan dan kesungguhannya telah melahirkan banyak ulama
dan perawi hadits terkenal semisal Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Abu Daud
yang tak lain buah didikannya. Karya-karya mereka seperti Shahih Bukhari,
Shahih Muslim atau Sunan Abu Daud menjadi kitab hadits standar yang menjadi
rujukan umat Islam di seluruh dunia dalam memahami ajaran Islam yang
disampaikan Rasulullah SAW lewat hadits-haditsnya.
Kepakaran Imam
Hanbali dalam ilmu hadits memang tak diragukan lagi sehingga mengundang banyak
tokoh ulama berguru kepadanya. Menurut putra sulungnya, Abdullah bin Ahmad,
Imam Hanbali hafal hingga 700.000 hadits di luar kepala.
Hadits sejumlah
itu, diseleksi secara ketat dan ditulisnya kembali dalam kitab karyanya Al
Musnad. Dalam kitab tersebut, hanya 40.000 hadits yang dituliskan kembali
dengan susunan berdasarkan tertib nama sahabat yang meriwayatkan. Umumnya
hadits dalam kitab ini berderajat sahih dan hanya sedikit yang berderajat
dhaif. Berdasar penelitian Abdul Aziz al Khuli, seorang ulama bahasa yang
banyak menulis biografi tokoh sahabat, sebenarnya hadits yang termuat dalam Al
Musnad berjumlah 30 ribu karena ada sekitar 10 ribu hadits yang berulang.
Kepandaian Imam
Hanbali dalam ilmu hadits, bukan datang begitu saja. Tokoh kelahiran Baghdad,
780 M (wafat 855 M) ini, dikenal sebagai ulama yang gigih mendalami ilmu. Lahir
dengan nama Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Imam Hanbali dibesarkan oleh ibunya,
karena sang ayah meninggal dalam usia muda. Hingga usia 16 tahun, Hanbali
belajar Al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama lain kepada ulama-ulama Baghdad.
Setelah itu, ia
mengunjungi para ulama terkenal di berbagai tempat seperti Kufah, Basrah, Syam,
Yaman, Mekkah dan Madinah. Beberapa gurunya antara lain Hammad bin Khalid,
Ismail bil Aliyyah, Muzaffar bin Mudrik, Walin bin Muslim, dan Musa bin Tariq.
Dari merekalah Hanbali muda mendalami fikih, hadits, tafsir, kalam, dan bahasa.
Karena kecerdasan dan ketekunannya, Hanbali dapat menyerap semua pelajaran
dengan baik.
Kecintaannya kepada
ilmu begitu luar biasa. Karenanya, setiap kali mendengar ada ulama terkenal di
suatu tempat, ia rela menempuh perjalanan jauh dan waktu lama hanya untuk
menimba ilmu dari sang ulama. Kecintaan kepada ilmu jua yang menjadikan Hanbali
rela tak menikah dalam usia muda. Ia baru menikah setelah usia 40 tahun.
Pertama kali, ia
menikah dengan Aisyah binti Fadl dan dikaruniai seorang putra bernama Saleh.
Ketika Aisyah meninggal, ia menikah kembali dengan Raihanah dan dikarunia putra
bernama Abdullah. Istri keduanya pun meninggal dan Hanbali menikah untuk
terakhir kalinya dengan seorang jariyah, hamba sahaya wanita bernama Husinah.
Darinya ia memperoleh lima orang anak yaitu Zainab, Hasan, Husain, Muhammad,
dan Said.
Tak hanya pandai,
Imam Hanbali dikenal tekun beribadah dan dermawan. Imam Ibrahim bin Hani, salah
seorang ulama terkenal yang jadi sahabatnya menjadi saksi akan kezuhudan Imam
Hanbali. ”Hampir setiap hari ia berpuasa dan tidurnya pun sedikit sekali di
waktu malam. Ia lebih banyak shalat malam dan witir hingga Shubuh tiba,”
katanya.
Mengenai
kedermawanannya, Imam Yahya bin Hilal, salah seorang ulama ahli fikih, berkata,
”Aku pernah datang kepada Imam Hanbali, lalu aku diberinya uang sebanyak empat
dirham sambil berkata, ‘Ini adalah rezeki yang kuperoleh hari ini dan semuanya
kuberikan kepadamu.”’
Imam Hanbali juga
dikenal teguh memegang pendirian. Di masa hidupnya, aliran Mu’tazilah tengah
berjaya. Dukungan Khalifah Al Ma’mun dari Dinasti Abbasiyah yang menjadikan
aliran ini sebagai madzhab resmi negara membuat kalangan ulama berang. Salah
satu ajaran yang dipaksakan penganut Mu’tazilah adalah paham Al-Qur’an
merupakan makhluk atau ciptaan Tuhan. Banyak umat Islam yang menolak pandangan
itu.
Imam Hanbali
termasuk yang menentang paham tersebut. Akibatnya, ia pun dipenjara dan disiksa
oleh Mu’tasim, putra Al Ma’mun. Setiap hari ia didera dan dipukul. Siksaan ini
berlangsung hingga Al Wasiq menggantikan ayahnya, Mu’tasim. Siksaan tersebut
makin meneguhkan sikap Hanbali menentang paham sesat itu. Sikapnya itu membuat
umat makin bersimpati kepadanya sehingga pengikutnya makin banyak kendati ia mendekam
dalam penjara.
Sepeninggal Al
Wasiq, Imam Hanbali menghirup udara kebebasan. Al Mutawakkil, sang pengganti,
membebaskan Imam Hanbali dan memuliakannya. Namanya pun makin terkenal dan
banyaklah ulama dari berbagai pelosok belajar kepadanya. Para ulama yang
belajar kepadanya antara lain Imam Hasan bin Musa, Imam Bukhari, Imam Muslim,
Imam Abu Daud, Imam Abu Zur’ah Ad Dimasyqi, Imam Abu Zuhrah, Imam Ibnu Abi, dan
Imam Abu Bakar Al Asram.
Sebagaimana ketiga
Imam lainnya; Syafi’i, Hanafi dan Maliki, oleh para muridnya, ajaran-ajaran
Imam Ahmad ibn Hanbali dijadikan patokan dalam amaliyah (praktik) ritual,
khususnya dalam masalah fikih. Sebagai pendiri madzhab tersebut, Imam Hanbali
memberikan perhatian khusus pada masalah ritual keagamaan, terutama yang
bersumber pada Sunnah.
Menurut Ibnu
Qayyim, salah seorang pengikut madzhab Hanbali, ada lima landasan pokok yang
dijadikan dasar penetapan hukum dan fatwa madzhab Hanbali. Pertama, nash
(Al-Qur’an dan Sunnah). Jika ia menemukan nash, maka ia akan berfatwa dengan
Al-Qur’an dan Sunnah dan tidak berpaling pada sumber lainnya. Kedua, fatwa
sahabat yang diketahui tidak ada yang menentangnya.
Ketiga, jika para
sahabat berbeda pendapat, ia akan memilih pendapat yang dinilainya lebih sesuai
dengan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW. Jika ternyata pendapat yang ada tidak
jelas persesuaiannya dengan Al-Qur’an dan Sunnah, maka ia tidak akan menetapkan
salah satunya, tetapi mengambil sikap diam atau meriwayatkan kedua-duanya.
Keempat, mengambil
hadits mursal (hadits yang dalam sanadnya tidak disebutkan nama perawinya), dan
hadits dhaif (hadits yang lemah, namun bukan ‘maudu’, atau hadits lemah). Dalam
hal ini, hadits dhaif didahulukan daripada qias. Dan kelima adalah qias, atau
analogi. Qias digunakan bila tidak ditemukan dasar hukum dari keempat sumber di
atas.
Pada awalnya
madzhab Hanbali hanya berkembang di Baghdad. Baru pada abad ke-6 H, madzhab ini
berkembang di Mesir. Perkembangan pesat terjadi pada abad ke-11 dan ke-12 H,
berkat usaha Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) dan Ibnu Qayyim (w. 751 H). Kedua tokoh
inilah yang membuka mata banyak orang untuk memberikan perhatian pada fikih
madzhab Hanbali, khususnya dalam bidang muamalah. Kini, madzhab tersebut banyak
dianut umat Islam di kawasan Timur Tengah.
Hasil karya Imam Hanbali
tersebar luas di berbagai lembaga pendidikan keagamaan. Beberapa kitab yang
sampai kini jadi kajian antara lain Tafsir Al-Qur’an, An Nasikh wal Mansukh,
Jawaban Al-Qur’an, At Tarikh, Taat ar Rasul, dan Al Wara. Kitabnya yang paling
terkenal adalah Musnad Ahmad bin Hanbal.
Sumber:
http://www.kotasantri.com/galeria.php?aksi=DetailArtikel&artid=174
***
Sejarah Singkat
Imam Hanbali
(Dari muslim.or.id)
Nasab dan
Kelahirannya
Beliau adalah Abu
Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin
Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin ‘Auf bin Qasith bin Mazin bin
Syaiban bin Dzuhl bin Tsa‘labah adz-Dzuhli asy-Syaibaniy. Nasab beliau bertemu
dengan nasab Nabi pada diri Nizar bin Ma‘d bin ‘Adnan. Yang berarti bertemu
nasab pula dengan nabi Ibrahim.
Ketika beliau masih
dalam kandungan, orang tua beliau pindah dari kota Marwa, tempat tinggal sang
ayah, ke kota Baghdad. Di kota itu beliau dilahirkan, tepatnya pada bulan
Rabi‘ul Awwal -menurut pendapat yang paling masyhur- tahun 164 H.
Ayah beliau,
Muhammad, meninggal dalam usia muda, 30 tahun, ketika beliau baru berumur tiga
tahun. Kakek beliau, Hanbal, berpindah ke wilayah Kharasan dan menjadi wali
kota Sarkhas pada masa pemeritahan Bani Umawiyyah, kemudian bergabung ke dalam
barisan pendukung Bani ‘Abbasiyah dan karenanya ikut merasakan penyiksaan dari
Bani Umawiyyah. Disebutkan bahwa dia dahulunya adalah seorang panglima.
Masa Menuntut Ilmu
Imam Ahmad tumbuh
dewasa sebagai seorang anak yatim. Ibunya, Shafiyyah binti Maimunah binti
‘Abdul Malik asy-Syaibaniy, berperan penuh dalam mendidik dan membesarkan
beliau. Untungnya, sang ayah meninggalkan untuk mereka dua buah rumah di kota
Baghdad. Yang sebuah mereka tempati sendiri, sedangkan yang sebuah lagi mereka
sewakan dengan harga yang sangat murah. Dalam hal ini, keadaan beliau sama
dengan keadaan syaikhnya, Imam Syafi‘i, yang yatim dan miskin, tetapi tetap
mempunyai semangat yang tinggi. Keduanya juga memiliki ibu yang mampu mengantar
mereka kepada kemajuan dan kemuliaan.
Beliau mendapatkan
pendidikannya yang pertama di kota Baghdad. Saat itu, kota Bagdad telah menjadi
pusat peradaban dunia Islam, yang penuh dengan manusia yang berbeda asalnya dan
beragam kebudayaannya, serta penuh dengan beragam jenis ilmu pengetahuan. Di
sana tinggal para qari’, ahli hadits, para sufi, ahli bahasa, filosof, dan
sebagainya.
Setamatnya
menghafal Alquran dan mempelajari ilmu-ilmu bahasa Arab di al-Kuttab saat
berumur 14 tahun, beliau melanjutkan pendidikannya ke ad-Diwan. Beliau terus
menuntut ilmu dengan penuh azzam yang tinggi dan tidak mudah goyah. Sang ibu
banyak membimbing dan memberi beliau dorongan semangat. Tidak lupa dia
mengingatkan beliau agar tetap memperhatikan keadaan diri sendiri, terutama
dalam masalah kesehatan. Tentang hal itu beliau pernah bercerita, “Terkadang
aku ingin segera pergi pagi-pagi sekali mengambil (periwayatan) hadits, tetapi
Ibu segera mengambil pakaianku dan berkata, ‘Bersabarlah dulu. Tunggu sampai
adzan berkumandang atau setelah orang-orang selesai shalat subuh.’”
Perhatian beliau
saat itu memang tengah tertuju kepada keinginan mengambil hadits dari para
perawinya. Beliau mengatakan bahwa orang pertama yang darinya beliau mengambil
hadits adalah al-Qadhi Abu Yusuf, murid/rekan Imam Abu Hanifah.
Imam Ahmad tertarik
untuk menulis hadits pada tahun 179 saat berumur 16 tahun. Beliau terus berada
di kota Baghdad mengambil hadits dari syaikh-syaikh hadits kota itu hingga
tahun 186. Beliau melakukan mulazamah kepada syaikhnya, Hasyim bin Basyir bin
Abu Hazim al-Wasithiy hingga syaikhnya tersebut wafat tahun 183. Disebutkan
oleh putra beliau bahwa beliau mengambil hadits dari Hasyim sekitar tiga ratus
ribu hadits lebih.
Pada tahun 186,
beliau mulai melakukan perjalanan (mencari hadits) ke Bashrah lalu ke negeri
Hijaz, Yaman, dan selainnya. Tokoh yang paling menonjol yang beliau temui dan
mengambil ilmu darinya selama perjalanannya ke Hijaz dan selama tinggal di sana
adalah Imam Syafi‘i. Beliau banyak mengambil hadits dan faedah ilmu darinya.
Imam Syafi‘i sendiri amat memuliakan diri beliau dan terkadang menjadikan
beliau rujukan dalam mengenal keshahihan sebuah hadits. Ulama lain yang menjadi
sumber beliau mengambil ilmu adalah Sufyan bin ‘Uyainah, Ismail bin ‘Ulayyah,
Waki‘ bin al-Jarrah, Yahya al-Qaththan, Yazid bin Harun, dan lain-lain. Beliau
berkata, “Saya tidak sempat bertemu dengan Imam Malik, tetapi Allah
menggantikannya untukku dengan Sufyan bin ‘Uyainah. Dan saya tidak sempat pula
bertemu dengan Hammad bin Zaid, tetapi Allah menggantikannya dengan Ismail bin
‘Ulayyah.”
Demikianlah, beliau
amat menekuni pencatatan hadits, dan ketekunannya itu menyibukkannya dari
hal-hal lain sampai-sampai dalam hal berumah tangga. Beliau baru menikah
setelah berumur 40 tahun. Ada orang yang berkata kepada beliau, “Wahai Abu
Abdillah, Anda telah mencapai semua ini. Anda telah menjadi imam kaum
muslimin.” Beliau menjawab, “Bersama mahbarah (tempat tinta) hingga ke maqbarah
(kubur). Aku akan tetap menuntut ilmu sampai aku masuk liang kubur.” Dan memang
senantiasa seperti itulah keadaan beliau: menekuni hadits, memberi fatwa, dan
kegiatan-kegiatan lain yang memberi manfaat kepada kaum muslimin. Sementara
itu, murid-murid beliau berkumpul di sekitarnya, mengambil darinya (ilmu)
hadits, fiqih, dan lainnya. Ada banyak ulama yang pernah mengambil ilmu dari
beliau, di antaranya kedua putra beliau, Abdullah dan Shalih, Abu Zur ‘ah,
Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Atsram, dan lain-lain.
Beliau menyusun
kitabnya yang terkenal, al-Musnad, dalam jangka waktu sekitar enam puluh tahun
dan itu sudah dimulainya sejak tahun tahun 180 saat pertama kali beliau mencari
hadits. Beliau juga menyusun kitab tentang tafsir, tentang an-nasikh dan
al-mansukh, tentang tarikh, tentang yang muqaddam dan muakhkhar dalam Alquran,
tentang jawaban-jawaban dalam Alquran. Beliau juga menyusun kitab al-manasik
ash-shagir dan al-kabir, kitab az-Zuhud, kitab ar-radd ‘ala al-Jahmiyah wa
az-zindiqah(Bantahan kepada Jahmiyah dan Zindiqah), kitab as-Shalah, kitab as-Sunnah,
kitab al-Wara ‘ wa al-Iman, kitab al-‘Ilal wa ar-Rijal, kitab al-Asyribah, satu
juz tentang Ushul as-Sittah, Fadha’il ash-Shahabah.
Pujian dan
Penghormatan Ulama Lain Kepadanya
Imam Syafi‘i pernah
mengusulkan kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, pada hari-hari akhir hidup
khalifah tersebut, agar mengangkat Imam Ahmad menjadi qadhi di Yaman, tetapi
Imam Ahmad menolaknya dan berkata kepada Imam Syafi‘i, “Saya datang kepada Anda
untuk mengambil ilmu dari Anda, tetapi Anda malah menyuruh saya menjadi qadhi untuk
mereka.” Setelah itu pada tahun 195, Imam Syafi‘i mengusulkan hal yang sama
kepada Khalifah al-Amin, tetapi lagi-lagi Imam Ahmad menolaknya.
Suatu hari, Imam
Syafi‘i masuk menemui Imam Ahmad dan berkata, “Engkau lebih tahu tentang hadits
dan perawi-perawinya. Jika ada hadits shahih (yang engkau tahu), maka beri
tahulah aku. Insya Allah, jika (perawinya) dari Kufah atau Syam, aku akan pergi
mendatanginya jika memang shahih.” Ini menunjukkan kesempurnaan agama dan akal
Imam Syafi‘i karena mau mengembalikan ilmu kepada ahlinya.
Imam Syafi‘i juga
berkata, “Aku keluar (meninggalkan) Bagdad, sementara itu tidak aku tinggalkan
di kota tersebut orang yang lebih wara’, lebih faqih, dan lebih bertakwa
daripada Ahmad bin Hanbal.”
Abdul Wahhab
al-Warraq berkata, “Aku tidak pernah melihat orang yang seperti Ahmad bin
Hanbal”. Orang-orang bertanya kepadanya, “Dalam hal apakah dari ilmu dan
keutamaannya yang engkau pandang dia melebihi yang lain?” Al-Warraq menjawab,
“Dia seorang yang jika ditanya tentang 60.000 masalah, dia akan menjawabnya
dengan berkata, ‘Telah dikabarkan kepada kami,’ atau, “Telah disampaikan hadits
kepada kami’.”Ahmad bin Syaiban berkata, “Aku tidak pernah melihat Yazid bin
Harun memberi penghormatan kepada seseorang yang lebih besar daripada kepada
Ahmad bin Hanbal. Dia akan mendudukkan beliau di sisinya jika menyampaikan
hadits kepada kami. Dia sangat menghormati beliau, tidak mau berkelakar
dengannya”. Demikianlah, padahal seperti diketahui bahwa Harun bin Yazid adalah
salah seorang guru beliau dan terkenal sebagai salah seorang imam huffazh.
Keteguhan di Masa
Penuh Cobaan
Telah menjadi
keniscayaan bahwa kehidupan seorang mukmin tidak akan lepas dari ujian dan
cobaan, terlebih lagi seorang alim yang berjalan di atas jejak para nabi dan
rasul. Dan Imam Ahmad termasuk di antaranya. Beliau mendapatkan cobaan dari
tiga orang khalifah Bani Abbasiyah selama rentang waktu 16 tahun.
Pada masa
pemerintahan Bani Abbasiyah, dengan jelas tampak kecondongan khalifah yang
berkuasa menjadikan unsur-unsur asing (non-Arab) sebagai kekuatan penunjang
kekuasaan mereka. Khalifah al-Makmun menjadikan orang-orang Persia sebagai
kekuatan pendukungnya, sedangkan al-Mu‘tashim memilih orang-orang Turki.
Akibatnya, justru sedikit demi sedikit kelemahan menggerogoti kekuasaan mereka.
Pada masa itu dimulai penerjemahan ke dalam bahasa Arab buku-buku falsafah dari
Yunani, Rumania, Persia, dan India dengan sokongan dana dari penguasa.
Akibatnya, dengan cepat berbagai bentuk bid‘ah merasuk menyebar ke dalam akidah
dan ibadah kaum muslimin. Berbagai macam kelompok yang sesat menyebar di
tengah-tengah mereka, seperti Qadhariyah, Jahmyah, Asy‘ariyah, Rafidhah,
Mu‘tashilah, dan lain-lain.
Kelompok
Mu‘tashilah, secara khusus, mendapat sokongan dari penguasa, terutama dari
Khalifah al-Makmun. Mereka, di bawah pimpinan Ibnu Abi Duad, mampu mempengaruhi
al-Makmun untuk membenarkan dan menyebarkan pendapat-pendapat mereka, di
antaranya pendapat yang mengingkari sifat-sifat Allah, termasuk sifat kalam
(berbicara). Berangkat dari pengingkaran itulah, pada tahun 212, Khalifah
al-Makmun kemudian memaksa kaum muslimin, khususnya ulama mereka, untuk
meyakini kemakhlukan Alquran.
Sebenarnya Harun
ar-Rasyid, khalifah sebelum al-Makmun, telah menindak tegas pendapat tentang
kemakhlukan Alquran. Selama hidupnya, tidak ada seorang pun yang berani
menyatakan pendapat itu sebagaimana dikisahkan oleh Muhammad bin Nuh, “Aku
pernah mendengar Harun ar-Rasyid berkata, ‘Telah sampai berita kepadaku bahwa
Bisyr al-Muraisiy mengatakan bahwa Alquran itu makhluk. Merupakan kewajibanku,
jika Allah menguasakan orang itu kepadaku, niscaya akan aku hukum bunuh dia
dengan cara yang tidak pernah dilakukan oleh seorang pun’”. Tatkala Khalifah
ar-Rasyid wafat dan kekuasaan beralih ke tangan al-Amin, kelompok Mu‘tazilah
berusaha menggiring al-Amin ke dalam kelompok mereka, tetapi al-Amin
menolaknya. Baru kemudian ketika kekhalifahan berpindah ke tangan al-Makmun,
mereka mampu melakukannya.
Untuk memaksa kaum
muslimin menerima pendapat kemakhlukan Alquran, al-Makmun sampai mengadakan
ujian kepada mereka. Selama masa pengujian tersebut, tidak terhitung orang yang
telah dipenjara, disiksa, dan bahkan dibunuhnya. Ujian itu sendiri telah
menyibukkan pemerintah dan warganya baik yang umum maupun yang khusus. Ia telah
menjadi bahan pembicaraan mereka, baik di kota-kota maupun di desa-desa di
negeri Irak dan selainnya. Telah terjadi perdebatan yang sengit di kalangan
ulama tentang hal itu. Tidak terhitung dari mereka yang menolak pendapat
kemakhlukan Alquran, termasuk di antaranya Imam Ahmad. Beliau tetap konsisten
memegang pendapat yang hak, bahwa Alquran itu kalamullah, bukan makhluk.
Al-Makmun bahkan
sempat memerintahkan bawahannya agar membawa Imam Ahmad dan Muhammad bin Nuh ke
hadapannya di kota Thursus. Kedua ulama itu pun akhirnya digiring ke Thursus
dalam keadaan terbelenggu. Muhammad bin Nuh meninggal dalam perjalanan sebelum
sampai ke Thursus, sedangkan Imam Ahmad dibawa kembali ke Bagdad dan dipenjara
di sana karena telah sampai kabar tentang kematian al-Makmun (tahun 218).
Disebutkan bahwa Imam Ahmad tetap mendoakan al-Makmun.
Sepeninggal
al-Makmun, kekhalifahan berpindah ke tangan putranya, al-Mu‘tashim. Dia telah
mendapat wasiat dari al-Makmun agar meneruskan pendapat kemakhlukan Alquran dan
menguji orang-orang dalam hal tersebut; dan dia pun melaksanakannya. Imam Ahmad
dikeluarkannya dari penjara lalu dipertemukan dengan Ibnu Abi Duad dan
konco-konconya. Mereka mendebat beliau tentang kemakhlukan Alquran, tetapi
beliau mampu membantahnya dengan bantahan yang tidak dapat mereka bantah.
Akhirnya beliau dicambuk sampai tidak sadarkan diri lalu dimasukkan kembali ke
dalam penjara dan mendekam di sana selama sekitar 28 bulan –atau 30-an bulan
menurut yang lain-. Selama itu beliau shalat dan tidur dalam keadaan kaki
terbelenggu.
Selama itu pula,
setiap harinya al-Mu‘tashim mengutus orang untuk mendebat beliau, tetapi
jawaban beliau tetap sama, tidak berubah. Akibatnya, bertambah kemarahan
al-Mu‘tashim kepada beliau. Dia mengancam dan memaki-maki beliau, dan menyuruh
bawahannya mencambuk lebih keras dan menambah belenggu di kaki beliau. Semua
itu, diterima Imam Ahmad dengan penuh kesabaran dan keteguhan bak gunung yang
menjulang dengan kokohnya.
Sakit dan Wafatnya
Pada akhirnya,
beliau dibebaskan dari penjara. Beliau dikembalikan ke rumah dalam keadaan
tidak mampu berjalan. Setelah luka-lukanya sembuh dan badannya telah kuat,
beliau kembali menyampaikan pelajaran-pelajarannya di masjid sampai
al-Mu‘tashim wafat.
Selanjutnya,
al-Watsiq diangkat menjadi khalifah. Tidak berbeda dengan ayahnya,
al-Mu‘tashim, al-Watsiq pun melanjutkan ujian yang dilakukan ayah dan kakeknya.
dia pun masih menjalin kedekatan dengan Ibnu Abi Duad dan konco-konconya.
Akibatnya, penduduk Bagdad merasakan cobaan yang kian keras. Al-Watsiq melarang
Imam Ahmad keluar berkumpul bersama orang-orang. Akhirnya, Imam Ahmad
bersembunyi di rumahnya, tidak keluar darinya bahkan untuk keluar mengajar atau
menghadiri shalat jamaah. Dan itu dijalaninya selama kurang lebih lima tahun,
yaitu sampai al-Watsiq meninggal tahun 232.
Sesudah al-Watsiq
wafat, al-Mutawakkil naik menggantikannya. Selama dua tahun masa
pemerintahannya, ujian tentang kemakhlukan Alquran masih dilangsungkan. Kemudian
pada tahun 234, dia menghentikan ujian tersebut. Dia mengumumkan ke seluruh
wilayah kerajaannya larangan atas pendapat tentang kemakhlukan Alquran dan
ancaman hukuman mati bagi yang melibatkan diri dalam hal itu. Dia juga
memerintahkan kepada para ahli hadits untuk menyampaikan hadits-hadits tentang
sifat-sifat Allah. Maka demikianlah, orang-orang pun bergembira pun dengan
adanya pengumuman itu. Mereka memuji-muji khalifah atas keputusannya itu dan
melupakan kejelekan-kejelekannya. Di mana-mana terdengar doa untuknya dan
namanya disebut-sebut bersama nama Abu Bakar, Umar bin al-Khaththab, dan Umar
bin Abdul Aziz.
Menjelang wafatnya,
beliau jatuh sakit selama sembilan hari. Mendengar sakitnya, orang-orang pun
berdatangan ingin menjenguknya. Mereka berdesak-desakan di depan pintu
rumahnya, sampai-sampai sultan menempatkan orang untuk berjaga di depan pintu.
Akhirnya, pada permulaan hari Jumat tanggal 12 Rabi‘ul Awwal tahun 241, beliau
menghadap kepada rabbnya menjemput ajal yang telah dientukan kepadanya. Kaum
muslimin bersedih dengan kepergian beliau. Tak sedikit mereka yang turut
mengantar jenazah beliau sampai beratusan ribu orang. Ada yang mengatakan 700
ribu orang, ada pula yang mengatakan 800 ribu orang, bahkan ada yang mengatakan
sampai satu juta lebih orang yang menghadirinya. Semuanya menunjukkan bahwa
sangat banyaknya mereka yang hadir pada saat itu demi menunjukkan penghormatan
dan kecintaan mereka kepada beliau. Beliau pernah berkata ketika masih sehat,
“Katakan kepada ahlu bid‘ah bahwa perbedaan antara kami dan kalian adalah
(tampak pada) hari kematian kami”.
Demikianlah
gambaran ringkas ujian yang dilalui oleh Imam Ahmad. Terlihat bagaimana sikap
agung beliau yang tidak akan diambil kecuali oleh orang-orang yang penuh
keteguhan lagi ikhlas. Beliau bersikap seperti itu justru ketika sebagian ulama
lain berpaling dari kebenaran. Dan dengan keteguhan di atas kebenaran yang
Allah berikan kepadanya itu, maka madzhab Ahlussunnah pun dinisbatkan kepada
dirinya karena beliau sabar dan teguh dalam membelanya. Ali bin al-Madiniy
berkata menggambarkan keteguhan Imam Ahmad, “Allah telah mengokohkan agama ini
lewat dua orang laki-laki, tidak ada yang ketiganya. Yaitu, Abu Bakar
as-Shiddiq pada Yaumur Riddah (saat orang-orang banyak yang murtad pada
awal-awal pemerintahannya), dan Ahmad bin Hanbal pada Yaumul Mihnah”.
Sumber:
http://muslim.or.id/?p=43
***
6. Sejarah
Singkat Imam Malik
Ditulis oleh
penulis di/pada September 28th, 2007
Dalam sebuah
kunjungan ke kota Madinah, Khalifah Bani Abbasiyyah, Harun Al Rasyid (penguasa
saat itu), tertarik mengikuti ceramah al muwatta’ (himpunan hadits) yang
diadakan Imam Malik. Untuk hal ini, khalifah mengutus orang memanggil Imam.
Namun Imam Malik memberikan nasihat kepada Khalifah Harun, ”Rasyid, leluhur
Anda selalu melindungi pelajaran hadits. Mereka amat menghormatinya. Bila
sebagai khalifah Anda tidak menghormatinya, tak seorang pun akan menaruh hormat
lagi. Manusia yang mencari ilmu, sementara ilmu tidak akan mencari manusia.”
Sedianya, khalifah
ingin agar para jamaah meninggalkan ruangan tempat ceramah itu diadakan. Namun,
permintaan itu tak dikabulkan Imam Malik. ”Saya tidak dapat mengorbankan
kepentingan umum hanya untuk kepentingan seorang pribadi.” Sang khalifah pun
akhirnya mengikuti ceramah bersama dua putranya dan duduk berdampingan dengan
rakyat kecil.
Imam Malik yang
bernama lengkap Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin
Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris al Asbahi, lahir di Madinah pada
tahun 712 M dan wafat tahun 796 M. Berasal dari keluarga Arab terhormat,
berstatus sosial tinggi, baik sebelum maupun sesudah datangnya Islam. Tanah
asal leluhurnya adalah Yaman, namun setelah nenek moyangnya menganut Islam,
mereka pindah ke Madinah. Kakeknya, Abu Amir, adalah anggota keluarga pertama
yang memeluk agama Islam pada tahun 2 H. Saat itu, Madinah adalah kota ilmu
yang sangat terkenal.
Kakek dan ayahnya
termasuk kelompok ulama hadits terpandang di Madinah. Karenanya, sejak kecil
Imam Malik tak berniat meninggalkan Madinah untuk mencari ilmu. Ia merasa
Madinah adalah kota dengan sumber ilmu yang berlimpah lewat kehadiran
ulama-ulama besarnya.
Kendati demikian,
dalam mencari ilmu Imam Malik rela mengorbankan apa saja. Menurut satu riwayat,
sang imam sampai harus menjual tiang rumahnya hanya untuk membayar biaya
pendidikannya. Menurutnya, tak layak seorang yang mencapai derajat intelektual
tertinggi sebelum berhasil mengatasi kemiskinan. Kemiskinan, katanya, adalah
ujian hakiki seorang manusia.
Karena keluarganya
ulama ahli hadits, maka Imam Malik pun menekuni pelajaran hadits kepada ayah
dan paman-pamannya. Kendati demikian, ia pernah berguru pada ulama-ulama
terkenal seperti Nafi’ bin Abi Nuaim, Ibnu Syihab az Zuhri, Abul Zinad, Hasyim
bin Urwa, Yahya bin Said al Anshari, dan Muhammad bin Munkadir. Gurunya yang
lain adalah Abdurrahman bin Hurmuz, tabi’in ahli hadits, fikih, fatwa dan ilmu
berdebat; juga Imam Jafar Shadiq dan Rabi Rayi.
Dalam usia muda,
Imam Malik telah menguasai banyak ilmu. Kecintaannya kepada ilmu menjadikan
hampir seluruh hidupnya diabdikan dalam dunia pendidikan. Tidak kurang empat
khalifah, mulai dari Al Mansur, Al Mahdi, Hadi Harun, dan Al Ma’mun, pernah
jadi murid Imam Malik. Ulama besar, Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i pun
pernah menimba ilmu dari Imam Malik. Belum lagi ilmuwan dan para ahli lainnya.
Menurut sebuah riwayat disebutkan murid terkenal Imam Malik mencapai 1.300
orang.
Ciri pengajaran
Imam Malik adalah disiplin, ketentraman, dan rasa hormat murid kepada gurunya.
Prinsip ini dijunjung tinggi olehnya sehingga tak segan-segan ia menegur keras
murid-muridnya yang melanggar prinsip tersebut. Pernah suatu kali Khalifah
Mansur membahas sebuah hadits dengan nada agak keras. Sang imam marah dan
berkata, ”Jangan melengking bila sedang membahas hadits Nabi.”
Ketegasan sikap
Imam Malik bukan sekali saja. Berulangkali, manakala dihadapkan pada keinginan
penguasa yang tak sejalan dengan aqidah Islamiyah, Imam Malik menentang tanpa
takut risiko yang dihadapinya. Salah satunya dengan Ja’far, gubernur Madinah.
Suatu ketika, gubernur yang masih keponakan Khalifah Abbasiyah, Al Mansur,
meminta seluruh penduduk Madinah melakukan bai’at (janji setia) kepada
khalifah. Namun, Imam Malik yang saat itu baru berusia 25 tahun merasa tak
mungkin penduduk Madinah melakukan bai’at kepada khalifah yang mereka tak
sukai.
Ia pun mengingatkan
gubernur tentang tak berlakunya bai’at tanpa keikhlasan seperti tidak sahnya
perceraian paksa. Ja’far meminta Imam Malik tak menyebarluaskan pandangannya
tersebut, tapi ditolaknya. Gubernur Ja’far merasa terhina sekali. Ia pun
memerintahkan pengawalnya menghukum dera Imam Malik sebanyak 70 kali. Dalam
kondisi berlumuran darah, sang imam diarak keliling Madinah dengan untanya.
Dengan hal itu, Ja’far seakan mengingatkan orang banyak, ulama yang mereka
hormati tak dapat menghalangi kehendak sang penguasa.
Namun, ternyata
Khalifah Mansur tidak berkenan dengan kelakuan keponakannya itu. Mendengar
kabar penyiksaan itu, khalifah segera mengirim utusan untuk menghukum
keponakannya dan memerintahkan untuk meminta maaf kepada sang imam. Untuk
menebus kesalahan itu, khalifah meminta Imam Malik bermukim di ibukota Baghdad
dan menjadi salah seorang penasihatnya. Khalifah mengirimkan uang 3.000 dinar
untuk keperluan perjalanan sang imam. Namun, undangan itu pun ditolaknya. Imam
Malik lebih suka tidak meninggalkan kota Madinah. Hingga akhir hayatnya, ia tak
pernah pergi keluar Madinah kecuali untuk berhaji.
Pengendalian diri
dan kesabaran Imam Malik membuat ia ternama di seantero dunia Islam. Pernah
semua orang panik lari ketika segerombolan Kharijis bersenjatakan pedang
memasuki masjid Kuffah. Tetapi, Imam Malik yang sedang shalat tanpa cemas tidak
beranjak dari tempatnya. Mencium tangan khalifah apabila menghadap di baliurang
sudah menjadi adat kebiasaan, namun Imam Malik tidak pernah tunduk pada
penghinaan seperti itu. Sebaliknya, ia sangat hormat pada para cendekiawan,
sehingga pernah ia menawarkan tempat duduknya sendiri kepada Imam Abu Hanifah
yang mengunjunginya.
Dari Al Muwatta’
Hingga Madzhab Maliki
Al Muwatta’ adalah
kitab fikih berdasarkan himpunan hadits-hadits pilihan. Santri mana yang tak
kenal kitab yang satu ini. Ia menjadi rujukan penting, khususnya di kalangan
pesantren dan ulama kontemporer. Karya terbesar Imam Malik ini dinilai memiliki
banyak keistimewaan. Ia disusun berdasarkan klasifikasi fikih dengan memperinci
kaidah fikih yang diambil dari hadits dan fatwa sahabat.
Menurut beberapa
riwayat, sesungguhnya Al Muwatta’ tak akan lahir bila Imam Malik tidak
‘dipaksa’ Khalifah Mansur. Setelah penolakan untuk ke Baghdad, Khalifah Al
Mansur meminta Imam Malik mengumpulkan hadits dan membukukannya. Awalnya, Imam
Malik enggan melakukan itu. Namun, karena dipandang tak ada salahnya melakukan
hal tersebut, akhirnya lahirlah Al Muwatta’. Ditulis di masa Al Mansur (754-775
M) dan baru selesai di masa Al Mahdi (775-785 M).
Dunia Islam
mengakui Al Muwatta’ sebagai karya pilihan yang tak ada duanya. Menurut Syah
Walilullah, kitab ini merupakan himpunan hadits paling shahih dan terpilih.
Imam Malik memang menekankan betul terujinya para perawi. Semula, kitab ini
memuat 10 ribu hadits. Namun, lewat penelitian ulang, Imam Malik hanya
memasukkan 1.720 hadits. Kitab ini telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa
dengan 16 edisi yang berlainan. Selain Al Muwatta’, Imam Malik juga menyusun
kitab Al Mudawwanah al Kubra, yang berisi fatwa-fatwa dan jawaban Imam Malik
atas berbagai persoalan.
Imam Malik tak
hanya meninggalkan warisan buku. Ia juga mewariskan mazhab fikih di kalangan
Islam Sunni, yang disebut sebagai Mazhab Maliki. Selain fatwa-fatwa Imam Malik
dan Al Muwatta’, kitab-kitab seperti Al Mudawwanah al Kubra, Bidayatul Mujtahid
wa Nihaayatul Muqtashid (karya Ibnu Rusyd), Matan ar Risalah fi al Fiqh al
Maliki (karya Abu Muhammad Abdullah bin Zaid), Asl al Madarik Syarh Irsyad al
Masalik fi Fiqh al Imam Malik (karya Shihabuddin al Baghdadi), dan Bulgah as
Salik li Aqrab al Masalik (karya Syeikh Ahmad as Sawi), menjadi rujukan utama
mazhab Maliki.
Di samping sangat
konsisten memegang teguh hadits, mazhab ini juga dikenal amat mengedepankan
aspek kemaslahatan dalam menetapkan hukum. Secara berurutan, sumber hukum yang
dikembangkan dalam Mazhab Maliki adalah Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah SAW,
amalan sahabat, tradisi masyarakat Madinah (amal ahli al Madinah), qiyas
(analogi), dan al maslahah al mursalah (kemaslahatan yang tidak didukung atau
dilarang oleh dalil tertentu).
Mazhab Maliki
pernah menjadi mazhab resmi di Mekah, Madinah, Irak, Mesir, Aljazair, Tunisia,
Andalusia (kini Spanyol), Marokko, dan Sudan. Kecuali di tiga negara yang
disebut terakhir, jumlah pengikut mazhab Maliki kini menyusut. Mayoritas
penduduk Mekah dan Madinah saat ini mengikuti Mazhab Hanbali. Di Iran dan
Mesir, jumlah pengikut Mazhab Maliki juga tidak banyak. Hanya Marokko saat ini
satu-satunya negara yang secara resmi menganut Mazhab Maliki.
Sumber:
http://www.kotasantri.com/galeria.php?aksi=DetailArtikel&artid=170
***
7.
Sejarah Singkat Imam Muslim
Ditulis
oleh penulis di/pada September 28th, 2007
Imam
Muslim dilahirkan di Naisabur pada tahun 202 H atau 817 M. Imam Muslim bernama
lengkap Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al
Qusyairi an Naisaburi. Naisabur, yang sekarang ini termasuk wilayah Rusia,
dalam sejarah Islam kala itu termasuk dalam sebutan Maa Wara’a an Nahr, artinya
daerah-daerah yang terletak di sekitar Sungai Jihun di Uzbekistan, Asia Tengah.
Pada masa Dinasti Samanid, Naisabur menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan
selama lebih kurang 150 tahun. Seperti halnya Baghdad di abad pertengahan,
Naisabur, juga Bukhara (kota kelahiran Imam Bukhari) sebagai salah satu kota
ilmu dan pusat peradaban di kawasan Asia Tengah. Di sini pula bermukim banyak
ulama besar.
Perhatian
dan minat Imam Muslim terhadap ilmu hadits memang luar biasa. Sejak usia dini,
beliau telah berkonsentrasi mempelajari hadits. Pada tahun 218 H, beliau mulai
belajar hadits, ketika usianya kurang dari lima belas tahun. Beruntung, beliau
dianugerahi kelebihan berupa ketajaman berfikir dan ingatan hafalan. Ketika berusia
sepuluh tahun, Imam Muslim sering datang dan berguru pada seorang ahli hadits,
yaitu Imam Ad Dakhili. Setahun kemudian, beliau mulai menghafal hadits Nabi
SAW, dan mulai berani mengoreksi kesalahan dari gurunya yang salah menyebutkan
periwayatan hadits.
Selain
kepada Ad Dakhili, Imam Muslim pun tak segan-segan bertanya kepada banyak ulama
di berbagai tempat dan negara. Berpetualang menjadi aktivitas rutin bagi
dirinya untuk mencari silsilah dan urutan yang benar sebuah hadits. Beliau,
misalnya pergi ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir dan negara-negara lainnya. Dalam
lawatannya itu, Imam Muslim banyak bertemu dan mengunjungi ulama-ulama kenamaan
untuk berguru hadits kepada mereka. Di Khurasan, beliau berguru kepada Yahya
bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih; di Ray beliau berguru kepada Muhammad bin
Mahran dan Abu ‘Ansan. Di Irak beliau belajar hadits kepada Ahmad bin Hanbal
dan Abdullah bin Maslamah; di Hijaz beliau belajar kepada Sa’id bin Mansur dan
Abu Mas ‘Abuzar; di Mesir beliau berguru kepada ‘Amr bin Sawad dan Harmalah bin
Yahya, dan ulama ahli hadits lainnya.
Bagi
Imam Muslim, Baghdad memiliki arti tersendiri. Di kota inilah beliau
berkali-kali berkunjung untuk belajar kepada ulama-ulama ahli hadits.
Kunjungannya yang terakhir beliau lakukan pada tahun 259 H. Ketika Imam Bukhari
datang ke Naisabur, Imam Muslim sering mendatanginya untuk bertukar pikiran
sekaligus berguru padanya. Saat itu, Imam Bukhari yang memang lebih senior,
lebih menguasai ilmu hadits ketimbang dirinya.
Ketika
terjadi fitnah atau kesenjangan antara Bukhari dan Az Zihli, beliau bergabung
kepada Bukhari. Sayang, hal ini kemudian menjadi sebab terputusnya hubungan
dirinya dengan Imam Az Zihli. Yang lebih menyedihkan, hubungan tak baik itu
merembet ke masalah ilmu, yakni dalam hal penghimpunan dan periwayatan
hadits-hadits Nabi SAW.
Imam
Muslim dalam kitab shahihnya maupun kitab-kitab lainnya tidak memasukkan
hadits-hadits yang diterima dari Az Zihli, padahal beliau adalah gurunya. Hal
serupa juga beliau lakukan terhadap Bukhari. Tampaknya bagi Imam Muslim tak ada
pilihan lain kecuali tidak memasukkan ke dalam Kitab Shahihnya hadits-hadits
yang diterima dari kedua gurunya itu. Kendatipun demikian, dirinya tetap
mengakui mereka sebagai gurunya.
Imam
Muslim yang dikenal sangat tawadhu’ dan wara’ dalam ilmu itu telah meriwayatkan
puluhan ribu hadits. Menurut Muhammad Ajaj Al Khatib, guru besar hadits pada
Universitas Damaskus, Syria, hadits yang tercantum dalam karya besar Imam
Muslim, Shahih Muslim, berjumlah 3.030 hadits tanpa pengulangan. Bila dihitung
dengan pengulangan, katanya, berjumlah sekitar 10.000 hadits. Sementara menurut
Imam Al Khuli, ulama besar asal Mesir, hadits yang terdapat dalam karya Muslim
tersebut berjumlah 4.000 hadits tanpa pengulangan, dan 7.275 dengan
pengulangan. Jumlah hadits yang beliau tulis dalam Shahih Muslim itu diambil
dan disaring dari sekitar 300.000 hadits yang beliau ketahui. Untuk menyaring
hadits-hadits tersebut, Imam Muslim membutuhkan waktu 15 tahun.
Mengenai
metode penyusunan hadits, Imam Muslim menerapkan prinsip-prinsip ilmu jarh, dan
ta’dil, yakni suatu ilmu yang digunakan untuk menilai cacat tidaknya suatu
hadits. Beliau juga menggunakan sighat at tahammul (metode-metode penerimaan
riwayat), seperti haddasani (menyampaikan kepada saya), haddasana (menyampaikan
kepada kami), akhbarana (mengabarkan kepada saya), akhabarana (mengabarkan
kepada kami), dan qaalaa (ia berkata).
Imam
Muslim menjadi orang kedua terbaik dalam masalah ilmu hadits (sanad, matan,
kritik, dan seleksinya) setelah Imam Bukhari. “Di dunia ini orang yang
benar-benar ahli di bidang hadits hanya empat orang; salah satu di antaranya
adalah Imam Muslim,” komentar ulama besar Abu Quraisy Al Hafizh. Maksud
ungkapan itu tak lain adalah ahli-ahli hadits terkemuka yang hidup di masa Abu
Quraisy.
Reputasinya
mengikuti gurunya Imam Bukhari
Dalam
khazanah ilmu-ilmu Islam, khususnya dalam bidang ilmu hadits, nama Imam Muslim
begitu monumental, setara dengan gurunya, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail
al-Bukhary al-Ju’fy atau lebih dikenal dengan nama Imam Bukhari. Sejarah Islam
sangat berhutang jasa kepadanya, karena prestasinya di bidang ilmu hadits,
serta karya ilmiahnya yang luar biasa sebagai rujukan ajaran Islam, setelah
al-Qur’an. Dua kitab hadits shahih karya Bukhari dan Muslim sangat berperan dalam
standarisasi bagi akurasi akidah, syariah dan tasawwuf dalam dunia Islam.
Melalui
karyanya yang sangat berharga, al-Musnad ash-Shahih, atau al-Jami’ ash-Shahih,
selain menempati urutan kedua setelah Shahih Bukhari, kitab tersebut memenuhi
khazanah pustaka dunia Islam, dan di Indonesia, khususnya di
pesantren-pesantren menjadi kurikulum wajib bagi para santri dan mahasiswa.
Pengembaraan
(rihlah) dalam pencarian hadits merupakan kekuatan tersendiri, dan amat penting
bagi perkembangan intelektualnya. Dalam pengembaraan ini (tahun 220 H), Imam
Muslim bertemu dengan guru-gurunya, dimana pertama kali bertemu dengan Qa’nabi
dan yang lainnya, ketika menuju kota Makkah dalam rangka perjalanan haji.
Perjalanan intelektual lebih serius, barangkali dilakukan tahun 230 H. Dari
satu wilayah ke wilayah lainnya, misalnya menuju ke Irak, Syria, Hijaz dan
Mesir.
Waktu
yang cukup lama dihabiskan bersama gurunya al-Bukhari. Kepada guru besarnya
ini, Imam Muslim menaruh hormat yang luar biasa. “Biarkan aku mencium kakimu,
hai Imam Muhadditsin dan dokter hadits,” pintanya, ketika di sebuah pertemuan
antara Bukhari dan Muslim.
Disamping
itu, Imam Muslim memang dikenal sebagai tokoh yang sangat ramah, sebagaimana
al-Bukhari yang memiliki kehalusan budi bahasa, Imam Muslim juga memiliki
reputasi, yang kemudian populer namanya — sebagaimana disebut oleh Adz-Dzahabi
— dengan sebutan muhsin dari Naisabur.
Maslamah
bin Qasim menegaskan, “Muslim adalah tsaqqat, agung derajatnya dan merupakan
salah seorang pemuka (Imam).” Senada pula, ungkapan ahli hadits dan fuqaha’
besar, Imam An-Nawawi, “Para ulama sepakat atas kebesarannya, keimanan,
ketinggian martabat, kecerdasan dan kepeloporannya dalam dunia hadits.”
Kitab
Shahih Muslim
Imam
Muslim memiliki jumlah karya yang cukup penting dan banyak. Namun yang paling
utama adalah karyanya, Shahih Muslim. Dibanding kitab-kitab hadits shahih
lainnya, kitab Shahih Muslim memiliki karakteristik tersendiri, dimana Imam
Muslim banyak memberikan perhatian pada ekstraksi yang resmi. Beliau bahkan
tidak mencantumkan judul-judul setiap akhir dari satu pokok bahasan. Disamping
itu, perhatiannya lebih diarahkan pada mutaba’at dan syawahid.
Walaupun
dia memiliki nilai beda dalam metode penyusunan kitab hadits, Imam Muslim
sekali-kali tidak bermaksud mengungkap fiqih hadits, namun mengemukakan
ilmu-ilmu yang bersanad. Karena beliau meriwayatkan setiap hadits di tempat
yang paling layak dengan menghimpun jalur-jalur sanadnya di tempat tersebut.
Sementara al-Bukhari memotong-motong suatu hadits di beberapa tempat dan pada
setiap tempat beliau sebutkan lagi sanadnya. Sebagai murid yang shalih, beliau
sangat menghormati gurunya itu, sehingga beliau menghindari orang-orang yang
berselisih pendapat dengan al-Bukhari.
Kitab
Shahih Muslim memang dinilai kalangan muhaditsun berada setingkat di bawah
al-Bukhari. Namun ada sejumlah ulama yang menilai bahwa kitab Imam Muslim lebih
unggul ketimbang kitabnya al-Bukhari.
Sebenarnya
kitab Shahih Muslim dipublikasikan untuk Abu Zur’ah, salah seorang kritikus
hadits terbesar, yang biasanya memberikan sejumlah catatan mengenai cacatnya
hadits. Lantas, Imam Muslim kemudian mengoreksi cacat tersebut dengan
membuangnya tanpa argumentasi. Karena Imam Muslim tidak pernah mau membukukan
hadits-hadits yang hanya berdasarkan kriteria pribadi semata, dan hanya
meriwayatkan hadits yang diterima oleh kalangan ulama. Sehingga hadits-hadits
Muslim terasa sangat populis.
Berdasarkan
hitungan Muhammad Fuad Abdul Baqi, kitab Shahih Muslim memuat 3.033 hadits.
Metode penghitungan ini tidak didasarkan pada sistem isnad sebagaimana
dilakukan ahli hadits, namun beliau mendasarkannya pada subyek-subyek. Artinya
jika didasarkan isnad, jumlahnya bisa berlipat ganda.
Antara
al-Bukhari dan Muslim
Imam
Muslim, sebagaimana dikatakan oleh Prof. Mustafa ‘Adzami dalam bukunya Studies
in Hadith Methodology and Literature, mengambil keuntungan dari Shahih Bukhari,
kemudian menyusun karyanya sendiri, yang tentu saja secara metodologis
dipengaruhi karya al-Bukhari.
Antara
al-Bukhari dan Muslim, dalam dunia hadits memiliki kesetaraan dalam keshahihan
hadits, walaupun hadits al-Bukhari dinilai memiliki keunggulan setingkat.
Namun, kedua kitab hadits tersebut mendapatkan gelar sebagai as-Shahihain.
Sebenarnya
para ulama berbeda pendapat mana yang lebih unggul antara Shahih Muslim dengan
Shahih Bukhari. Jumhur Muhadditsun berpendapat, Shahihul Bukhari lebih unggul,
sedangkan sejumlah ulama Marokko dan yang lain lebih mengunggulkan Shahih
Muslim. Hal ini menunjukkan, sebenarnya perbedaannya sangatlah sedikit, dan
walaupun itu terjadi, hanyalah pada sistematika penulisannya saja, serta
perbandingan antara tema dan isinya.
Al-Hafizh
Ibnu Hajar mengulas kelebihan Shahih Bukhari atas Shahih Muslim, antara lain,
karena Al-Bukhari mensyaratkan kepastian bertemunya dua perawi yang secara
struktural sebagai guru dan murid dalam hadits Mu’an’an; agar dapat dihukumi
bahwa sanadnya bersambung. Sementara Muslim menganggap cukup dengan
“kemungkinan” bertemunya kedua rawi tersebut dengan tidak adanya tadlis.
Al-Bukhari
mentakhrij hadits yang diterima para perawi tsaqqat derajat utama dari segi
hafalan dan keteguhannya. Walaupun juga mengeluarkan hadits dari rawi derajat
berikutnya dengan sangat selektif. Sementara Muslim, lebih banyak pada rawi
derajat kedua dibanding Bukhari. Disamping itu kritik yang ditujukan kepada
perawi jalur Muslim lebih banyak dibanding kepada al-Bukhari.
Sementara
pendapat yang berpihak pada keunggulan Shahih Muslim beralasan — sebagaimana
dijelaskan Ibnu Hajar —, bahwa Muslim lebih berhati-hati dalam menyusun
kata-kata dan redaksinya, karena menyusunnya di negeri sendiri dengan berbagai
sumber di masa kehidupan guru-gurunya. Beliau juga tidak membuat kesimpulan
dengan memberi judul bab sebagaimana Bukhari lakukan. Dan sejumlah alasan
lainnya.
Namun
prinsipnya, tidak semua hadits Bukhari lebih shahih ketimbang hadits Muslim dan
sebaliknya. Hanya pada umumnya keshahihan hadits riwayat Bukhari itu lebih
tinggi derajatnya daripada keshahihan hadits dalam Shahih Muslim.
Karya-karya
Imam Muslim
Imam
Muslim berhasil menghimpun karya-karyanya, antara lain seperti: 1) Al-Asma’
wal-Kuna, 2) Irfadus Syamiyyin, 3) Al-Arqaam, 4) Al-Intifa bi Juludis Siba’, 5)
Auhamul Muhadditsin, 7)At-Tarikh,
At-Tamyiz, 9) Al-Jami’, 10) Hadits Amr bin Syu’aib, 11) Rijalul ‘Urwah,
12)Sawalatuh Ahmad bin Hanbal, 13) Thabaqat, 14) Al-I’lal, 15) Al-Mukhadhramin,
16) Al-Musnad al-Kabir, 17) Masyayikh ats-Tsawri, 18) Masyayikh Syu’bah, 19)
Masyayikh Malik, 20) Al-Wuhdan, 21) As-Shahih al-Masnad.
Kitab-kitab
nomor 6, 20, dan 21 telah dicetak, sementara nomor 1, 11, dan 13 masih dalam
bentuk manuskrip. Sedangkan karyanya yang monumental adalah Shahih dari judul
singkatnya, yang sebenarnya berjudul, Al-Musnad as-Shahih, al-Mukhtashar minas
Sunan, bin-Naqli al-’Adl ‘anil ‘Adl ‘an Rasulillah.
Wafatnya
Imam Muslim
Imam
Muslim wafat pada Ahad sore, pada tanggal 24 Rajab 261 H. Semoga Allah SWT
merahmatinya, mengampuni segala kesalahannya, serta menggolongkannya ke dalam
golongan orang-orang yang sholeh. Amiin.
Sumber:
- http://members.tripod.com/fitrah_online/thema/des98/1298muslim.htm
***
8.
Sejarah Singkat Imam Syafi’i
Ditulis oleh penulis
di/pada September 28th, 2007
Nama dan Nasab
Beliau bernama
Muhammad dengan kun-yah Abu Abdillah. Nasab beliau secara lengkap adalah
Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi‘ bin as-Saib bin ‘Ubayd
bin ‘Abdu Zayd bin Hasyim bin al-Muththalib bin ‘Abdu Manaf bin Qushay. Nasab
beliau bertemu dengan nasab Rasulullah pada diri ‘Abdu Manaf bin Qushay. Dengan
begitu, beliau masih termasuk sanak kandung Rasulullah karena masih terhitung
keturunan paman-jauh beliau , yaitu Hasyim bin al-Muththalib.
Bapak beliau, Idris,
berasal dari daerah Tibalah (Sebuah daerah di wilayah Tihamah di jalan menuju
ke Yaman). Dia seorang yang tidak berpunya. Awalnya dia tinggal di Madinah lalu
berpindah dan menetap di ‘Asqalan (Kota tepi pantai di wilayah Palestina) dan
akhirnya meninggal dalam keadaan masih muda di sana. Syafi‘, kakek dari kakek
beliau, -yang namanya menjadi sumber penisbatan beliau (Syafi‘i)- menurut
sebagian ulama adalah seorang sahabat shigar (yunior) Nabi. As-Saib, bapak
Syafi‘, sendiri termasuk sahabat kibar (senior) yang memiliki kemiripan fisik
dengan Rasulullah saw. Dia termasuk dalam barisan tokoh musyrikin Quraysy dalam
Perang Badar. Ketika itu dia tertawan lalu menebus sendiri dirinya dan
menyatakan masuk Islam.
Para ahli sejarah
dan ulama nasab serta ahli hadits bersepakat bahwa Imam Syafi‘i berasal dari
keturunan Arab murni. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah memberi kesaksian
mereka akan kevalidan nasabnya tersebut dan ketersambungannya dengan nasab
Nabi, kemudian mereka membantah pendapat-pendapat sekelompok orang dari kalangan
Malikiyah dan Hanafiyah yang menyatakan bahwa Imam Syafi‘i bukanlah asli
keturunan Quraysy secara nasab, tetapi hanya keturunan secara wala’ saja.
Adapun ibu beliau,
terdapat perbedaan pendapat tentang jati dirinya. Beberapa pendapat mengatakan
dia masih keturunan al-Hasan bin ‘Ali bin Abu Thalib, sedangkan yang lain
menyebutkan seorang wanita dari kabilah Azadiyah yang memiliki kun-yah Ummu
Habibah. Imam an-Nawawi menegaskan bahwa ibu Imam Syafi‘i adalah seorang wanita
yang tekun beribadah dan memiliki kecerdasan yang tinggi. Dia seorang yang
faqih dalam urusan agama dan memiliki kemampuan melakukan istinbath.
Waktu dan Tempat
Kelahirannya
Beliau dilahirkan
pada tahun 150H. Pada tahun itu pula, Abu Hanifah wafat sehingga dikomentari
oleh al-Hakim sebagai isyarat bahwa beliau adalah pengganti Abu Hanifah dalam
bidang yang ditekuninya.
Tentang tempat
kelahirannya, banyak riwayat yang menyebutkan beberapa tempat yang berbeda.
Akan tetapi, yang termasyhur dan disepakati oleh ahli sejarah adalah kota Ghazzah
(Sebuah kota yang terletak di perbatasan wilayah Syam ke arah Mesir. Tepatnya
di sebelah Selatan Palestina. Jaraknya dengan kota Asqalan sekitar dua
farsakh). Tempat lain yang disebut-sebut adalah kota Asqalan dan Yaman.
Ibnu Hajar
memberikan penjelasan bahwa riwayat-riwayat tersebut dapat digabungkan dengan
dikatakan bahwa beliau dilahirkan di sebuah tempat bernama Ghazzah di wilayah
Asqalan. Ketika berumur dua tahun, beliau dibawa ibunya ke negeri Hijaz dan
berbaur dengan penduduk negeri itu yang keturunan Yaman karena sang ibu berasal
dari kabilah Azdiyah (dari Yaman). Lalu ketika berumur 10 tahun, beliau dibawa
ke Mekkah, karena sang ibu khawatir nasabnya yang mulia lenyap dan terlupakan.
Pertumbuhannya dan
Pengembaraannya Mencari Ilmu
Di Mekkah, Imam
Syafi ‘i dan ibunya tinggal di dekat Syi‘bu al-Khaif. Di sana, sang ibu
mengirimnya belajar kepada seorang guru. Sebenarnya ibunya tidak mampu untuk
membiayainya, tetapi sang guru ternyata rela tidak dibayar setelah melihat
kecerdasan dan kecepatannya dalam menghafal. Imam Syafi‘i bercerita, “Di
al-Kuttab (sekolah tempat menghafal Alquran), saya melihat guru yang mengajar
di situ membacakan murid-muridnya ayat Alquran, maka aku ikut menghafalnya.
Sampai ketika saya menghafal semua yang dia diktekan, dia berkata kepadaku,
“Tidak halal bagiku mengambil upah sedikitpun darimu.” Dan ternyata kemudian
dengan segera guru itu mengangkatnya sebagai penggantinya (mengawasi
murid-murid lain) jika dia tidak ada. Demikianlah, belum lagi menginjak usia
baligh, beliau telah berubah menjadi seorang guru.
Setelah rampung
menghafal Alquran di al-Kuttab, beliau kemudian beralih ke Masjidil Haram untuk
menghadiri majelis-majelis ilmu di sana. Sekalipun hidup dalam kemiskinan,
beliau tidak berputus asa dalam menimba ilmu. Beliau mengumpulkan pecahan
tembikar, potongan kulit, pelepah kurma, dan tulang unta untuk dipakai menulis.
Sampai-sampai tempayan-tempayan milik ibunya penuh dengan tulang-tulang,
pecahan tembikar, dan pelepah kurma yang telah bertuliskan hadits-hadits Nabi. Dan
itu terjadi pada saat beliau belum lagi berusia baligh. Sampai dikatakan bahwa
beliau telah menghafal Alquran pada saat berusia 7 tahun, lalu membaca dan
menghafal kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik pada usia 12 tahun sebelum
beliau berjumpa langsung dengan Imam Malik di Madinah.
Beliau juga tertarik
mempelajari ilmu bahasa Arab dan syair-syairnya. Beliau memutuskan untuk
tinggal di daerah pedalaman bersama suku Hudzail yang telah terkenal kefasihan
dan kemurnian bahasanya, serta syair-syair mereka. Hasilnya, sekembalinya dari
sana beliau telah berhasil menguasai kefasihan mereka dan menghafal seluruh
syair mereka, serta mengetahui nasab orang-orang Arab, suatu hal yang kemudian
banyak dipuji oleh ahli-ahli bahasa Arab yang pernah berjumpa dengannya dan
yang hidup sesudahnya. Namun, takdir Allah telah menentukan jalan lain baginya.
Setelah mendapatkan nasehat dari dua orang ulama, yaitu Muslim bin Khalid
az-Zanji -mufti kota Mekkah-, dan al-Husain bin ‘Ali bin Yazid agar mendalami
ilmu fiqih, maka beliau pun tersentuh untuk mendalaminya dan mulailah beliau
melakukan pengembaraannya mencari ilmu.
Beliau mengawalinya
dengan menimbanya dari ulama-ulama kotanya, Mekkah, seperti Muslim bin Khalid,
Dawud bin Abdurrahman al-‘Athar, Muhammad bin Ali bin Syafi’ –yang masih
terhitung paman jauhnya-, Sufyan bin ‘Uyainah –ahli hadits Mekkah-, Abdurrahman
bin Abu Bakar al-Maliki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin ‘Iyadh, dan lain-lain. Di
Mekkah ini, beliau mempelajari ilmu fiqih, hadits, lughoh, dan Muwaththa’ Imam
Malik. Di samping itu beliau juga mempelajari keterampilan memanah dan
menunggang kuda sampai menjadi mahir sebagai realisasi pemahamannya terhadap
ayat 60 surat Al-Anfal. Bahkan dikatakan bahwa dari 10 panah yang dilepasnya, 9
di antaranya pasti mengena sasaran.
Setelah mendapat
izin dari para syaikh-nya untuk berfatwa, timbul keinginannya untuk mengembara
ke Madinah, Dar as-Sunnah, untuk mengambil ilmu dari para ulamanya. Terlebih
lagi di sana ada Imam Malik bin Anas, penyusun al-Muwaththa’. Maka berangkatlah
beliau ke sana menemui sang Imam. Di hadapan Imam Malik, beliau membaca
al-Muwaththa’ yang telah dihafalnya di Mekkah, dan hafalannya itu membuat Imam
Malik kagum kepadanya. Beliau menjalani mulazamah kepada Imam Malik demi
mengambil ilmu darinya sampai sang Imam wafat pada tahun 179. Di samping Imam
Malik, beliau juga mengambil ilmu dari ulama Madinah lainnya seperti Ibrahim
bin Abu Yahya, ‘Abdul ‘Aziz ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Isma‘il bin Ja‘far,
Ibrahim bin Sa‘d dan masih banyak lagi.
Setelah kembali ke
Mekkah, beliau kemudian melanjutkan mencari ilmu ke Yaman. Di sana beliau
mengambil ilmu dari Mutharrif bin Mazin dan Hisyam bin Yusuf al-Qadhi, serta
yang lain. Namun, berawal dari Yaman inilah beliau mendapat cobaan –satu hal
yang selalu dihadapi oleh para ulama, sebelum maupun sesudah beliau-. Di Yaman,
nama beliau menjadi tenar karena sejumlah kegiatan dan kegigihannya menegakkan
keadilan, dan ketenarannya itu sampai juga ke telinga penduduk Mekkah. Lalu,
orang-orang yang tidak senang kepadanya akibat kegiatannya tadi mengadukannya
kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, Mereka menuduhnya hendak mengobarkan
pemberontakan bersama orang-orang dari kalangan Alawiyah.
Sebagaimana dalam
sejarah, Imam Syafi‘i hidup pada masa-masa awal pemerintahan Bani ‘Abbasiyah
yang berhasil merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Pada masa itu, setiap
khalifah dari Bani ‘Abbasiyah hampir selalu menghadapi pemberontakan
orang-orang dari kalangan ‘Alawiyah. Kenyataan ini membuat mereka bersikap
sangat kejam dalam memadamkan pemberontakan orang-orang ‘Alawiyah yang
sebenarnya masih saudara mereka sebagai sesama Bani Hasyim. Dan hal itu
menggoreskan rasa sedih yang mendalam pada kaum muslimin secara umum dan pada
diri Imam Syafi‘i secara khusus. Dia melihat orang-orang dari Ahlu Bait Nabi
menghadapi musibah yang mengenaskan dari penguasa. Maka berbeda dengan sikap
ahli fiqih selainnya, beliau pun menampakkan secara terang-terangan rasa
cintanya kepada mereka tanpa rasa takut sedikitpun, suatu sikap yang saat itu
akan membuat pemiliknya merasakan kehidupan yang sangat sulit.
Sikapnya itu
membuatnya dituduh sebagai orang yang bersikap tasyayyu‘, padahal sikapnya sama
sekali berbeda dengan tasysyu’ model orang-orang syi‘ah. Bahkan Imam Syafi‘i
menolak keras sikap tasysyu’ model mereka itu yang meyakini ketidakabsahan
keimaman Abu Bakar, Umar, serta ‘Utsman , dan hanya meyakini keimaman Ali,
serta meyakini kemaksuman para imam mereka. Sedangkan kecintaan beliau kepada
Ahlu Bait adalah kecintaan yang didasari oleh perintah-perintah yang terdapat
dalam Alquran maupun hadits-hadits shahih. Dan kecintaan beliau itu ternyata
tidaklah lantas membuatnya dianggap oleh orang-orang syiah sebagai ahli fiqih
madzhab mereka.
Tuduhan dusta yang
diarahkan kepadanya bahwa dia hendak mengobarkan pemberontakan, membuatnya
ditangkap, lalu digelandang ke Baghdad dalam keadaan dibelenggu dengan rantai
bersama sejumlah orang-orang ‘Alawiyah. Beliau bersama orang-orang ‘Alawiyah
itu dihadapkan ke hadapan Khalifah Harun ar-Rasyid. Khalifah menyuruh
bawahannya menyiapkan pedang dan hamparan kulit. Setelah memeriksa mereka
seorang demi seorang, ia menyuruh pegawainya memenggal kepala mereka. Ketika
sampai pada gilirannya, Imam Syafi‘i berusaha memberikan penjelasan kepada
Khalifah. Dengan kecerdasan dan ketenangannya serta pembelaan dari Muhammad bin
al-Hasan -ahli fiqih Irak-, beliau berhasil meyakinkan Khalifah tentang
ketidakbenaran apa yang dituduhkan kepadanya. Akhirnya beliau meninggalkan
majelis Harun ar-Rasyid dalam keadaan bersih dari tuduhan bersekongkol dengan
‘Alawiyah dan mendapatkan kesempatan untuk tinggal di Baghdad.
Di Baghdad, beliau
kembali pada kegiatan asalnya, mencari ilmu. Beliau meneliti dan mendalami
madzhab Ahlu Ra’yu. Untuk itu beliau berguru dengan mulazamah kepada Muhammad
bin al-Hassan. Selain itu, kepada Isma‘il bin ‘Ulayyah dan Abdul Wahhab
ats-Tsaqafiy dan lain-lain. Setelah meraih ilmu dari para ulama Irak itu,
beliau kembali ke Mekkah pada saat namanya mulai dikenal. Maka mulailah ia
mengajar di tempat dahulu ia belajar. Ketika musim haji tiba, ribuan jamaah
haji berdatangan ke Mekkah. Mereka yang telah mendengar nama beliau dan ilmunya
yang mengagumkan, bersemangat mengikuti pengajarannya sampai akhirnya nama
beliau makin dikenal luas. Salah satu di antara mereka adalah Imam Ahmad bin Hanbal.
Ketika
kamasyhurannya sampai ke kota Baghdad, Imam Abdurrahman bin Mahdi mengirim
surat kepada Imam Syafi‘i memintanya untuk menulis sebuah kitab yang berisi
khabar-khabar yang maqbul, penjelasan tentang nasikh dan mansukh dari ayat-ayat
Alquran dan lain-lain. Maka beliau pun menulis kitabnya yang terkenal,
Ar-Risalah.
Setelah lebih dari 9
tahun mengajar di Mekkah, beliau kembali melakukan perjalanan ke Irak untuk
kedua kalinya dalam rangka menolong madzhab Ash-habul Hadits di sana. Beliau
mendapat sambutan meriah di Baghdad karena para ulama besar di sana telah
menyebut-nyebut namanya. Dengan kedatangannya, kelompok Ash-habul Hadits merasa
mendapat angin segar karena sebelumnya mereka merasa didominasi oleh Ahlu
Ra’yi. Sampai-sampai dikatakan bahwa ketika beliau datang ke Baghdad, di Masjid
Jami ‘ al-Gharbi terdapat sekitar 20 halaqah Ahlu Ra ‘yu. Tetapi ketika hari
Jumat tiba, yang tersisa hanya 2 atau 3 halaqah saja.
Beliau menetap di
Irak selama dua tahun, kemudian pada tahun 197 beliau balik ke Mekkah. Di sana
beliau mulai menyebar madzhabnya sendiri. Maka datanglah para penuntut ilmu
kepadanya meneguk dari lautan ilmunya. Tetapi beliau hanya berada setahun di
Mekkah.
Tahun 198, beliau
berangkat lagi ke Irak. Namun, beliau hanya beberapa bulan saja di sana karena
telah terjadi perubahan politik. Khalifah al-Makmun telah dikuasai oleh para
ulama ahli kalam, dan terjebak dalam pembahasan-pembahasan tentang ilmu kalam.
Sementara Imam Syafi‘i adalah orang yang paham betul tentang ilmu kalam. Beliau
tahu bagaimana pertentangan ilmu ini dengan manhaj as-salaf ash-shaleh –yang
selama ini dipegangnya- di dalam memahami masalah-masalah syariat. Hal itu
karena orang-orang ahli kalam menjadikan akal sebagai patokan utama dalam
menghadapi setiap masalah, menjadikannya rujukan dalam memahami syariat padahal
mereka tahu bahwa akal juga memiliki keterbatasan-keterbatasan. Beliau tahu
betul kebencian meraka kepada ulama ahlu hadits. Karena itulah beliau menolak
madzhab mereka.
Dan begitulah
kenyataannya. Provokasi mereka membuat Khalifah mendatangkan banyak musibah
kepada para ulama ahlu hadits. Salah satunya adalah yang dikenal sebagai Yaumul
Mihnah, ketika dia mengumpulkan para ulama untuk menguji dan memaksa mereka
menerima paham Alquran itu makhluk. Akibatnya, banyak ulama yang masuk penjara,
bila tidak dibunuh. Salah satu di antaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal.
Karena perubahan itulah, Imam Syafi‘i kemudian memutuskan pergi ke Mesir.
Sebenarnya hati kecilnya menolak pergi ke sana, tetapi akhirnya ia menyerahkan
dirinya kepada kehendak Allah. Di Mesir, beliau mendapat sambutan
masyarakatnya. Di sana beliau berdakwah, menebar ilmunya, dan menulis sejumlah
kitab, termasuk merevisi kitabnya ar-Risalah, sampai akhirnya beliau menemui
akhir kehidupannya di sana.
Keteguhannya Membela
Sunnah
Sebagai seorang yang
mengikuti manhaj Ash-habul Hadits, beliau dalam menetapkan suatu masalah
terutama masalah aqidah selalu menjadikan Alquran dan Sunnah Nabi sebagai
landasan dan sumber hukumnya. Beliau selalu menyebutkan dalil-dalil dari
keduanya dan menjadikannya hujjah dalam menghadapi penentangnya, terutama dari
kalangan ahli kalam. Beliau berkata, “Jika kalian telah mendapatkan Sunnah
Nabi, maka ikutilah dan janganlah kalian berpaling mengambil pendapat yang
lain.” Karena komitmennya mengikuti sunnah dan membelanya itu, beliau mendapat
gelar Nashir as-Sunnah wa al-Hadits.
Terdapat banyak
atsar tentang ketidaksukaan beliau kepada Ahli Ilmu Kalam, mengingat perbedaan
manhaj beliau dengan mereka. Beliau berkata, “Setiap orang yang berbicara
(mutakallim) dengan bersumber dari Alquran dan sunnah, maka ucapannya adalah
benar, tetapi jika dari selain keduanya, maka ucapannya hanyalah igauan
belaka.” Imam Ahmad berkata, “Bagi Syafi‘i jika telah yakin dengan keshahihan
sebuah hadits, maka dia akan menyampaikannya. Dan prilaku yang terbaik adalah
dia tidak tertarik sama sekali dengan ilmu kalam, dan lebih tertarik kepada
fiqih.” Imam Syafi ‘i berkata, “Tidak ada yang lebih aku benci daripada ilmu
kalam dan ahlinya” Al-Mazani berkata, “Merupakan madzhab Imam Syafi‘i membenci
kesibukan dalam ilmu kalam. Beliau melarang kami sibuk dalam ilmu kalam.”
Ketidaksukaan beliau
sampai pada tingkat memberi fatwa bahwa hukum bagi ahli ilmu kalam adalah
dipukul dengan pelepah kurma, lalu dinaikkan ke atas punggung unta dan digiring
berkeliling di antara kabilah-kabilah dengan mengumumkan bahwa itu adalah
hukuman bagi orang yang meninggalkan Alquran dan Sunnah dan memilih ilmu kalam.
Wafatnya
Karena kesibukannya
berdakwah dan menebar ilmu, beliau menderita penyakit bawasir yang selalu
mengeluarkan darah. Makin lama penyakitnya itu bertambah parah hingga akhirnya
beliau wafat karenanya. Beliau wafat pada malam Jumat setelah shalat Isya’ hari
terakhir bulan Rajab permulaan tahun 204 dalam usia 54 tahun. Semoga Allah
memberikan kepadanya rahmat-Nya yang luas.
Ar-Rabi menyampaikan
bahwa dia bermimpi melihat Imam Syafi‘i, sesudah wafatnya. Dia berkata kepada
beliau, “Apa yang telah diperbuat Allah kepadamu, wahai Abu Abdillah ?” Beliau
menjawab, “Allah mendudukkan aku di atas sebuah kursi emas dan menaburkan pada
diriku mutiara-mutiara yang halus”
Karangan-Karangannya
Sekalipun beliau
hanya hidup selama setengah abad dan kesibukannya melakukan perjalanan jauh
untuk mencari ilmu, hal itu tidaklah menghalanginya untuk menulis banyak kitab.
Jumlahnya menurut Ibnu Zulaq mencapai 200 bagian, sedangkan menurut al-Marwaziy
mencapai 113 kitab tentang tafsir, fiqih, adab dan lain-lain. Yaqut al-Hamawi
mengatakan jumlahnya mencapai 174 kitab yang judul-judulnya disebutkan oleh
Ibnu an-Nadim dalam al-Fahrasat.
Yang paling terkenal
di antara kitab-kitabnya adalah al-Umm, yang terdiri dari 4 jilid berisi 128
masalah, dan ar-Risalah al-Jadidah (yang telah direvisinya) mengenai Alquran
dan As-Sunnah serta kedudukannya dalam syariat.
Sumber :
1. Al-Umm, bagian
muqoddimah hal 3-33.
2. Siyar A‘lam
an-Nubala’
3. Manhaj Aqidah
Imam asy-Syafi‘, terjemah kitab Manhaj al-Imam Asy-Syafi ‘i fi Itsbat al-‘Aqidah
karya DR. Muhammad AW al-Aql terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi‘i, Cirebon.
Sumber:
http://muslim.or.id/?p=9
***
9.
Sejarah Singkat Imam Tirmizi
Ditulis oleh penulis di/pada September
28th, 2007
Khazanah keilmuan Islam klasik mencatat
sosok Imam Tirmizi sebagai salah satu periwayat dan ahli Hadits utama, selain
Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, dan sederet nama lainnya. Karyanya,
Kitab Al Jami’, atau biasa dikenal dengan kitab Jami’ Tirmizi, menjadi salah
satu rujukan penting berkaitan masalah Hadits dan ilmunya, serta termasuk dalam
Kutubus Sittah (enam kitab pokok di bidang Hadits) dan ensiklopedia Hadits
terkenal. Sosok penuh tawadhu’ dan ahli ibadah ini tak lain adalah Imam
Tirmizi.
Dilahirkan pada 279 H di kota Tirmiz,
Imam Tirmizi bernama lengkap Imam Al-Hafiz Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah
bin Musa bin Ad-Dahhak As-Sulami At-Tirmizi. Sejak kecil, Imam Tirmizi gemar
belajar ilmu dan mencari Hadits. Untuk keperluan inilah ia mengembara ke
berbagai negeri, antara lain Hijaz, Irak, Khurasan, dan lain-lain.
Dalam lawatannya itu, ia banyak
mengunjungi ulama-ulama besar dan guru-guru Hadits untuk mendengar Hadits dan
kemudian dihafal dan dicatatnya dengan baik. Di antara gurunya adalah; Imam
Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Abu Daud. Selain itu, ia juga belajar pada Imam
Ishak bin Musa, Mahmud bin Gailan, Said bin Abdurrahman, Ali bin Hajar, Ahmad
bin Muni’, dan lainnya.
Perjalanan panjang pengembaraannya
mencari ilmu, bertukar pikiran, dan mengumpulkan Hadits itu mengantarkan
dirinya sebagai ulama Hadits yang sangat disegani kalangan ulama semasanya.
Kendati demikian, takdir menggariskan lain. Daya upaya mulianya itu pula yang
pada akhir kehidupannya mendapat musibah kebutaan, dan beberapa tahun lamanya
ia hidup sebagai tuna netra. Dalam kondisi seperti inilah, Imam Tirmizi
meninggal dunia. Ia wafat di Tirmiz pada usia 70 tahun.
Di kemudian hari, kumpulan Hadits dan
ilmu-ilmunya dipelajari dan diriwayatkan oleh banyak ulama, di antaranya;
Makhul ibnul-Fadl, Muhammad bin Mahmud Anbar, Hammad bin Syakir, Abd bin Muhammad
An-Nasfiyyun, Al-Haisam bin Kulaib Asy-Syasyi, Ahmad bin Yusuf An-Nasafi,
Abul-Abbas Muhammad bin Mahbud Al-Mahbubi, yang meriwayatkan kitab Al-Jami’
daripadanya, dan lain-lain. Mereka ini pula murid-murid Imam Tirmizi.
Banyak kalangan ulama dan ahli Hadits
mengakui kekuatan dan kelebihan dalam diri Imam Tirmizi. Selain itu, kesalehan
dan ketakwaannya pun tak dapat diragukan lagi. Salah satu ulama itu, Ibnu
Hibban Al-Busti, pakar Hadits, mengakui kemampuan Tirmizi dalam menghafal,
menghimpun, menyusun, dan meneliti Hadits, sehingga menjadikan dirinya sumber
pengambilan Hadits para ulama terkenal, termasuk Imam Bukhari.
Sementara kalangan ulama lainnya
mengungkapkan, Imam Tirmizi adalah sosok yang dapat dipercaya, amanah, dan
sangat teliti. Kisah yang dikemukakan Al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Tahzib
At-Tahzibnya, dari Ahmad bin Abdullah bin Abu Dawud, berikut adalah salah satu
bukti kelebihan sang Imam :
Saya mendengar Abu Isa At-Tirmizi
berkata, “Pada suatu waktu dalam perjalanan menuju Mekkah, dan ketika itu saya
telah menulis dua jilid buku berisi Hadits-hadits berasal dari seorang guru.
Guru tersebut berpapasan dengan kami. Lalu saya bertanya-tanya mengenai dia,
mereka menjawab bahwa dialah orang yang kumaksudkan itu. Kemudian saya
menemuinya. Dia mengira bahwa ‘dua jilid kitab’ itu ada padaku. Ternyata yang
kubawa bukanlah dua jilid tersebut, melainkan dua jilid lain yang mirip
dengannya. Ketika saya bertemu dengannya, saya memohon kepadanya untuk
mendengar Hadits, dan ia mengabulkan permohonan itu. Kemudian ia membacakan
Hadits yang telah dihafalnya. Di sela-sela pembacaan itu ia mencuri pandang dan
melihat bahwa kertas yang kupegang ternyata masih putih bersih tanpa ada
tulisan sesuatu apa pun. Melihat kenyataan itu, ia berkata, ‘Tidakkah engkau malu
kepadaku?’ Lalu aku bercerita dan menjelaskan kepadanya bahwa apa yang ia
bacakan itu telah kuhafal semuanya. ‘Coba bacakan!’ perintahnya. Aku pun
membacakan seluruhnya secara beruntun. Ia bertanya lagi, ‘Apakah telah engkau
hafalkan sebelum datang kepadaku?’ Aku menjawab, ‘Tidak.’ Kemudian saya meminta
lagi agar dia meriwayatkan Hadits yang lain. Ia pun kemudian membacakan 40
Hadits yang tergolong Hadits-hadits sulit atau gharib lalu berkata, ‘Coba
ulangi apa yang kubacakan tadi!’ Lalu aku membacakannya dari pertama sampai
selesai, dan ia berkomentar, ‘Aku belum pernah melihat orang seperti engkau.’ “
Selain dikenal sebagai ahli dan penghafal
Hadits, mengetahui kelemahan-kelemahan dan perawi-perawinya, Imam Tirmizi juga
dikenal sebagai ahli fiqh dengan wawasan dan pandangan luas.
Pandangan-pandangan tentang fiqh itu misalnya, dapat ditemukan dalam kitabnya
Al-Jami’.
Kajian-kajiannya mengenai persoalan fiqh
ini pula mencerminkan dirinya sebagai ulama yang sangat berpengalaman dan
mengerti betul duduk permasalahan yang sebenarnya. Sebagai tamsil,
penjelasannya terhadap sebuah Hadits mengenai penangguhan membayar piutang yang
dilakukan si berutang yang sudah mampu, sebagai berikut: “Muhammad bin Basysyar
bin Mahdi menceritakan kepada kami. Sufyan menceritakan kepada kami, dari Abi
Az-Zunad, dari Al-Arai dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, bersabda: Penangguhan
membayar utang (yang dilakukan oleh si berutang) yang mampu adalah suatu
kezaliman. Apabila seseorang di antara kamu dipindahkan utangnya kepada orang
lain yang mampu membayar, hendaklah pemindahan utang itu diterimanya.”
Bagaimana penjelasan sang Imam? Berikut
ini komentar beliau, “Sebagian ahli ilmu berkata: ‘Apabila seseorang
dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang mampu membayar dan ia menerima pemindahan
itu, maka bebaslah orang yang memindahkan (muhil) itu, dan bagi orang yang
dipindahkan piutangnya (muhtal) tidak dibolehkan menuntut kepada muhil.’
Sementara sebagian ahli lainnya mengatakan: ‘Apabila harta seseorang (muhtal)
menjadi rugi disebabkan kepailitan muhal ‘alaih, maka baginya dibolehkan
menuntut bayar kepada orang pertama (muhil). Alasannya adalah, tidak ada
kerugian atas harta benda seorang Muslim. Menurut Ibnu Ishak, perkataan ‘Tidak
ada kerugian atas harta benda seorang Muslim’ ini adalah ‘Apabila seseorang
dipindahkan piutangnya kepada orang lain yang dikiranya mampu, namun ternyata
orang lain itu tidak mampu, maka tidak ada kerugian atas harta benda orang
Muslim (yang dipindahkan utangnya) itu’.” demikian penjelasan Imam Tirmizi.
Ini adalah satu contoh yang menunjukkan
kepada kita, betapa cemerlangnya pemikiran fiqh Imam Tirmizi dalam memahami
nash-nash Hadits, serta betapa luas dan orisinal pandangannya itu. Hingga
meninggalnya, Imam Tirmizi telah menulis puluhan kitab, diantaranya: Kitab
Al-Jami’, terkenal dengan sebutan Sunan at-Tirmizi, Kitab Al-’Ilal, Kitab
At-Tarikh, Kitab Asy-Syama’il an-Nabawiyyah, Kitab Az-Zuhd, dan Kitab Al-Asma’
wal-Kuna.
Selain dikenal dengan sebutan Kitab Jami’
Tirmizi, kitab ini juga dikenal dengan nama Sunan At-Tirmizi. Di kalangan
muhaddisin (ahli Hadits), kitab ini menjadi rujukan utama, selain kitab-kitab
hadits lainnya dari Imam Bukhari maupun Imam Muslim.
Kitab Sunan Tirmizi dianggap sangat
penting lantaran kitab ini betul-betul memperhatikan ta’lil (penentuan nilai)
Hadits dengan menyebutkan secara eksplisit Hadits yang sahih. Itu sebabnya,
kitab ini menduduki peringkat ke-4 dalam urutan Kutubus Sittah, atau menurut
penulis buku Kasyf Az Zunuun, Hajji Khalfah (w. 1657), kedudukan Sunan Tirmizi
berada pada tingkat ke-3 dalam hierarki Kutubus Sittah.
Tidak seperti kitab Hadits Imam Bukhari,
atau yang ditulis Imam Muslim dan lainnya, kitab Sunan Tirmizi dapat dipahami
oleh siapa saja, yang memahami bahasa Arab tentunya. Dalam menyeleksi Hadits
untuk kitabnya itu, Imam Tirmizi bertolak pada dasar apakah Hadits itu dipakai
oleh fuqaha (ahli fikih) sebagai hujjah (dalil) atau tidak. Sebaliknya, Tirmizi
tidak menyaring Hadits dari aspek Hadits itu dhaif atau tidak. Itu sebabnya, ia
selalu memberikan uraian tentang nilai Hadits, bahkan uraian perbandingan dan
kesimpulannya.
Diriwayatkan, bahwa ia pernah berkata:
“Semua Hadits yang terdapat dalam kitab ini adalah dapat diamalkan.” Oleh
karena itu, sebagian besar ahli ilmu menggunakannya (sebagai pegangan), kecuali
dua Hadits, yaitu: Pertama, yang artinya: “Sesungguhnya Rasulullah SAW menjamak
shalat Dhuhur dengan Ashar, dan Maghrib dengan Isya, tanpa adanya sebab takut
dan dalam perjalanan.” Juga Hadits, “Jika ia peminum khamar, minum lagi pada
yang keempat kalinya, maka bunuhlah dia.” Hadits mengenai hukuman untuk peminum
khamar ini adalah mansukh (terhapus) dan ijma’ ulama pun menunjukkan demikian.
Sedangkan mengenai shalat jamak, para ulama berbeda pendapat atau tidak sepakat
untuk meninggalkannya. Sebagian besar ulama berpendapat boleh hukumnya
melakukan shalat jamak di rumah selama tidak dijadikan kebiasaan. Pendapat ini
adalah pendapat Ibn Sirin dan Asyab serta sebagian besar ahli fiqh dan ahli
Hadits juga Ibn Munzir.
Beberapa keistimewaan Kitab Jami’ atau
Sunan Tirmizi adalah, pencantuman riwayat dari sahabat lain mengenai masalah
yang dibahas dalam Hadits pokok (Hadits al Bab), baik isinya yang semakna
maupun yang berbeda, bahkan yang bertentangan sama sekali secara langsung
maupun tidak langsung.
Selain itu, keistimewaan yang langsung
kaitannya dengan ulum al Hadits (ilmu-ilmu Hadits) adalah masalah ta’lil
Hadits. Hadits-hadits yang dimuat disebutkan nilainya dengan jelas, bahkan
nilai rawinya yang dianggap penting. Kitab ini dinilai positif karena dapat
digunakan untuk penerapan praktis kaidah-kaidah ilmu Hadits, khususnya ta’lil
Hadits tersebut.
Sumber:
http://www.kotasantri.com/galeria.php?aksi=DetailArtikel&artid=172
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar